Thursday, 4 July 2013

Dawai Biola Tirani - Bab 1



“Aduh, aku telat!”
DUG
DUG
DUG
Gemuruh suara langkah kaki terdengar dari lantai dua. Menciptakan keributan yang bagi penghuni rumah tersebut sudah lumrah setiap paginya, “Mbok Inem gimana sih? Rani nggak dibangunin?!”
“Non… dari tadi sudah mbok bangunkan.” Kata Mbok Inem
“Kalo ngebangunin yang bener dong, Mbok. Sampai bangun!!!” Kata Rani sambil membetulkan rambutnya yang tergerai lurus panjang dan menuju ruang makan, “Sarapan Rani mana? Belum mbok bikinin ya?”
“Sudah, Non. Sudah dingin lagi malah…”
“Angetin!” Teriak Rani.
Mbok Inem hanya tersenyum melihat Rani yang sedang sibuk mondar-mandir ke kamar mandi, kemudian keluar lagi karena lupa mengambil handuk. Baginya, Rani sudah seperti anak kandungnya sendiri. Ia sangat tahu betul watak Rani dan apa makanan kesukaannya—nasi goreng buatan Mbok Inem sendiri.
“Mbooook, lama banget sih?” Rani melihat jam setelah selesai mandi, “Ya amppuuuuun!!! Mati berdiri Rani lama-lama kalau gini!!”
“Nah, neng, nasi gorengnya sudah kembali…” Rani berjalan cepat sambil menarik tangan Mbok Inem. Beruntung refleknya masih secepat seperti sepuluh tahun silam, sehingga piring berisi nasi goreng tersebut tidak tumpah, “Mbok mau di bawa ke mana ini, Non?”
“Ikut! Suapin Rani di mobil. Rani belum ngerjain PR, nih.” Kata Rani sambil terus menyeret Mbok Inem ke pintu depan. Di sana ia melihat seorang laki-laki dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Pagi, Non. Mas Ikin ganteng nggak pakai kemeja ini?” Sapa Mas Ikin di depan rumahnya sambil memamerkan kemeja semi formal yang membalut badannya yang kurus. Kacaunya, kemeja tersebut bermotif bunga-bunga Hawaii. Membuat Mbok Inem sedikit menarik bibirnya. Mbok Inem merasa seperti melihat iguana bercorak bunga-bunga.
Rani tak peduli dengan kelakar Mas Ikin, “Tancap, Mas. Aku telaaaat!!!”
“Oh, siap, Non, siap.” Kata Mas Ikin bergegas ke dalam mobil dan menyalakannya.
Rani duduk di tempat penumpang bersama Mbok Inem.
“Mbok, suapin! Aku pake sepatu dulu.” Kata Rani.
Mobil tetap diam.
“Mas, kenapa diam???”
“Mas masih bingung, Neng. Kita mau ke mana?” Tanya Mas Ikin dengan polosnya.
“AAAAAAGHHH!! KE MAL?!! Ya ke sekolah lah Mas! Mas pikir kita mau ke mana lagi?!!”  Rani kesal sendiri.
“Oh, ke sekolah. Ya Mas pikir mau main lagi kayak waktu itu, kan sekarang udah telat.” Kata Mas Ikin sembari tertawa kecil.
“MAAAS IKIN NYEBELIIIIN!!!!! AARRRGGGHHHH…”
***
Kicauan burung pagi menghiasi indahnya taman di sebelah SMA negeri 5 Bandung. Halaman sekitar sekolah sudah sepi dan terlihat satpam yang menjaga gerbang sekolah hendak menutup gerbang.
“PAAAAAK!!! PAAAAK!!! PAK MIRZAAAA...” Terdengar suara seorang perempuan dari kelas atas. Membuat satpam yang hendak menutup gerbang mengalihkan perhatiannya.
“Jangan teriak-teriak gitu, Non. Ada apa ini?” Kata Pak Mirza dengan logat Madura ciri khasnya.
“KUMIS BAPAK HARI INI KEREN, DEH.” Kata seorang gadis tembem dari kelas atas. Seorang gadis cantik di sebelahnya tertawa.
“Ah, masa iya, Non?” Kata Pak Mirza ge-er sambil mengurut-urut kumisnya, “Setelah sekian lama akhirnya... Heiiii kamu...”
“Hehehehe makasih udah mau nunggu ya, Pak.” Kata Rani sambil neloyor masuk gerbang.
“Kamu gak boleh masuk. Waduh, kecolongan lagi, saya.” Kata Pak Mirza menepuk kepalanya.
“DADAH BAPAAAAAK.” Kata gadis di kelas atas tersebut.
“AWAS YA SAMPEYAN. SAYA TAK AKAN TERTIPU LAGI.” Kata Pak Mirza. Kalimat itu telah ia ucapkan sama persis 3 kali minggu ini.
***
“Gila kau, Ran. Minggu ini kamu udah 4 kali telat. Untung ada kita.” Kata Nive, gadis tembem yang tadi memanggil Pak Mirza dari kelas atas. Ia memiliki perawakan yang sungguh subur. Rambutnya keriting rapi menandakan orang yang rajin pergi ke salon minimal dua kali seminggu dan kalau awal bulan bisa setiap hari. Pipinya tembem dipadukan dengan wajahnya yang bulat dan putih sehingga terlihat seperti gumpalan permen kapas rasa vanila.
“Kenapa kamu, Ran? Pasti tidurnya kemaleman terus.” Kata Karina, gadis cantik yang berada di sebelah Nive. Rambutnya lurus indah bersaing dengan Rani, namun tingkahnya amat lembut dan sabar. Sebuah kebalikan dari sifat dasar Rani. Kedipan matanya yang dihiasi dengan bulu mata panjang lentiknya selalu mendapat perhatian dari orang-orang di sekitarnya terutama dari lawan jenisnya. Tipe gadis yang tak bisa ditolak oleh laki-laki manapun.
“Iya, Rin. Aku nonton DVD sampai malem.” Kata Rani nyengir.
“Huuu, Barbie terus ditonton. Lama-lama jadi boneka, kamu!” Kata Aris. Seorang cowok berwajah cuek yang berada di sebelah Karina.
“Eh, enak aja. Tadi malem tu aku nonton Titanic. Uuuuh, nangis aku nontonnya.”
Aris melihat kepada Nive dan Karina dan ia menemukan mereka sepikiran dengannya. Aris, Nive dan Karina meledak tertawa bersamaan.
“Kok pada ketawa, sih?” Rani merengut.
“Film jaman kapan itu, Rani... Up to date dong.” Kata Nive.
“Nggak apa-apa. Aku setuju. Aku juga kadang suka tersentuh lagi kok kalau nonton film itu lagi.” Kata Karina. Rani tersenyum seperti anak kecil yang baru dikembalikan mainannya.
“Jangan dibelain, Rin. Nanti ngelunjak tuh anak.” Kata Aris.
“Jahaaaat...” Rani merengut kembali.
“Tuh, kan mulai deh keluar anak kecilnya. Rani... Uuuuughhh...” Nive mencubit pipi Rani sampai batas maksimal.
“Nive!! Sakit enduuuut!!!” Kata Rani. Nive langsung melompati bangku menghindari kejaran Rani. “KALAU KETANGKEP AKU BIKIN KURUS, KAU!!!”
“SOK AJA KALAU BISA. WEEEEE”
BRUK
Nive menabrak Bu Mariana. Guru jam pelajaran pertama kelas mereka. Bu Mariana terkapar dan tertimpa Nive. Nyaris tidak kelihatan karena tertutup besarnya badan Nive.
“Siapkan diri kalian... ngek... kita ulangan Biologi... dan kamu, cepat menyingkir. Sepertinya ibu salah urat. Aduuh.”
***
Sekolah negeri yang dijadikan tempat menuntut ilmu oleh Rani dan teman-temannya adalah salah satu sekolah negeri yang terkenal dan menduduki peringkat lima besar sekolah negeri di Bandung. Gedung sekolahnya sendiri adalah gedung bekas peninggalan Belanda dengan ciri khas atap yang tinggi dan jendela yang besar-besar.
Di sekitar bangunan sekolah tersebut ditumbuhi dengan pohon-pohon besar yang amat rimbun. Tak jarang pagi hari di daerah tersebut tertutupi embun tipis menutupi sampai . Rindangnya pepohonan tersebut juga mendukung para siswa dsekolah tersebut untuk betah di sekolah dan memberikan suasana yang nyaman untuk tidur di kelas bagi sebagian yang lain.
Yang paling disukai dari murid-murid sekolah tersebut adalah taman di sebelah sekolah. Taman tersebut adalah sebuah taman yang dibuat oleh salah satu perusahaan negara untuk menghijaukan lingkungan. Namun bila anak-anak sekolah tersebut pulang sekolah, khususnya bagi murid laki-laki, taman tersebut berubah fungsi menjadi lapangan sepak bola. Di sekeliling taman tersebut banyak pedagang menjual berbagai macam kudapan dan makanan. Sangat tepat untuk menjadi tempat melepas lelah sekaligus tempat ngeceng.
Jika pelajaran sekolah sedang berlangsung, jendela-jendela besar di bangunan tersebut wajib dibuka. Hal tersebut dimaksudkan untuk membiarkan udara segar memenuhi ruang kelas dan membuat otak murid-murid sekolah tetap segar. Dari jendela lantai satu bangunan tersebut, misalnya. Seorang murid perempuan sedang duduk serius menghadap mejanya. Di bawah jendela bagian luar, seorang perempuan setengah baya berpakaian seperti bibi-bibi terlihat kebingungan sambil memegang buku Biologi kelas 2 SMA dan kebingungan membacanya.
“Mbok Inem, cepat mana jawabannya?” Bisik Rani.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Murid-murid sekolah berhamburan keluar. Mayoritas dari mereka langsung menuju taman di sebelah sekolah. Beberapa langsung menuju jalan utama di depan sekolah untuk mencegat angkot pulang.
“PARAAAAH!!! Ulangan apaan tuh tadi?” Kata Nive sambil menggerutu.
“Gila! Serangan mendadak! Gua gak belajar apa-apa lagi tadi malem.” Kata Aris.
“Aku dong, lancar.” Kata Rani sambil tertawa puas menertawakan Nive dan Aris.
“Ah, kamu mah, paling-paling Mbok Inem kamu suruh buka buku, kan di balik jendela?!” Kata Aris. Rani nyengir kuda.
“Kok tahu? Pinter kamu, Ris.”
“Wah, ini nih yang namanya curang tingkat tinggi.” Nive mencubit pipi Rani.
“Sakiiiit...” Kata Rani, “Yang penting kan efektif. Hehehe keren nggak aku?”
“Huuuuu keren apanya?!!!!” Kata Aris dan Nive sambil mengacak-acak rambut Rani.
“AAAAaaaghhh...” Rengek Rani, “Karina, tolooong...”
Karina hanya tertawa kecil. Dalam hal pelajaran, Karina adalah masternya. Urutan satu atau dua selalu jadi langganannya di kelas. Bahkan untuk beberapa guru, nilai 100 seakan masih kurang untuk Karina.
“Rambutku... Aghhh Aris nih!!!” Kata Rani berusaha merapikan rambut panjangnya kembali, “Ganti rugi!!! Traktir aku ke Mall!!!”
“Eh, tunggu!” Kata Aris. Namun sebelum Aris menyelesaikan kata-katanya, Karina dan Nive langsung menyetujui tuntutan Rani.
“Ide bagus!!! Ayo!!” Kata Nive semangat.
“Ayo, Ris... Ayo...” Karina tampak antusias.
“Engg...” Aris tampak bingung. Sebenarnya ia ingin pulang cepat hari ini, tapi ini juga adalah salah satu kesenangannya—jalan-jalan bersama ketiga temannya. “Ok...”
“YEEESS!!!”
***
Jalanan kota Bandung disinari teriknya matahari. Jalanan utama tampak penuh dengan mobil-mobil yang berlalu-lalang. Beberapa angkot tampak berhenti di pinggir jalan (beberapa dengan seenaknya) menunggu penumpang yang membutuhkan jasanya.
Tampak di trotoar pinggir jalan beberapa pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam dagangannya, dimulai dengan makanan seperti misalnya pecel lele dan ayam goreng, pakaian, sampai aksesoris yang beraneka macam.
Sebuah mobil sedan berwarna biru tua terlihat melintasi jalan raya Suci dan menuju jalan layang Pasupati. Beberapa mobil di belakangnya nampak tidak sabar untuk menyalip mobil tersebut. Namun mobil sedan biru tua itu tetap pada gayanya sebelumnya—penuh dengan kehati-hatian. Dan mobil di belakangnya tetap gencar melancarkan klakson ke arah mobil sedan biru tua yang berada di depannya. Terlihat plat nomor mobil biru tua tersebut—D 412 IS—Aris.
“Jalannya cepet dikit kenapa?! Kita diklaksonin dari belakang tuh!!” Nive cemas melihat ke arah belakang.
“Sabar!!! Gua takut nabrak.”
***
Mall di kota Bandung selalu tampak lebih ramai setelah selesainya jam sekolah. Beberapa murid sekolah yang nampak malas langsung pulang ke rumah memilih berkumpul bersama teman-temannya di sini. Menikmati kebersamaan sambil mencuci mata dengan barang-barang baru atau yang menurut mereka indah walau terkadang isi dompet tidak mendukung.
Rani, Nive, Karina, dan Aris berjalan di tempat terbuka yang disediakan mall tersebut. Tempat yang menjadi favorit mereka untuk menghabiskan waktu. Aris seringkali menjadi korban kenarsisan ketiga cewek itu. Ia disuruh memotretkan mereka bertiga dengan kamera HP. Dan tak jarang Aris tidak kebagian difoto.
“Ariiiis... fotoin Rani di deket pohon itu! Ceritanya anak ilang.” Kata Rani.
“Bukannya udah anak ilang beneran.” Kata Aris sambil menerima HP berkamera milik Rani, “Kamu nggak ikut, Rin?”
Karina tidak menjawab Aris. Padahal Aris yakin suaranya cukup terdengar karena Karina berdiri di sebelah Aris.
“Rin?” Ulang Aris. Karina nampak terkejut.
“Eh, apa Ris?”
“Kamu kenapa?” Tanya Aris.
“Itu, Ris. Aku perhatiin, cowok itu perasaan lihat ke sini terus. Kenal?” Tanya Karina sambil menunjuk secara diam-diam cowok berambut rancung mengenakan jaket jeans yang berdiri di dekat stan yang menjual takoyaki.
“Nggak. Ngeceng kamu kali.” Kata Aris.
“Idih, males.” Kata Karina. “Aku ikut foto, ya...”
“Aaaang... yang ini solois!! Aku sendiri.” Kata Rani menolak untuk foto bareng dengan Karina. Namun Karina tetap ingin ikut nimbrung foto dengan Rani, “Aku nangis lho.”
Sampai nangis segala.” Kata Karina. “Nanti aku beliin crepes deh.”
“Asiiik.” Kata Rani.
“Siap ya... 1...2... Sip, lumayan bagus kalau nggak ada tuyul chubby nya.”
“Maksudnya aku, ya?!” Kata Rani.
Nive tertawa. Rani manyun lagi. “Udah ah. Makan yuk. Cacing perut gua harus dikasi makan, nih.” Kata Nive.
“Ayuuuuk...” Kata Rani. “Aku pengen makan steak. Pokonya steak...”
Aris dan Nive langsung mengikuti Rani menuju tempat makan di dalam mall. Saat Karina hendak menyusul mereka...
“Hei...”
Terdengar suara menyapa dari belakang Karina. Karina membalikkan badannya sambil menyibak rambut lurusnya yang panjang. Ia melihat cowok berjaket jeans yang tadi berdiri di belakangnya. Ia melihat ke sekitarnya. Memastikan bukan dia yang dipanggil oleh cowok itu.
“Iya, kamu.” Kata cowok itu.
“Aku?”
Cowok itu mengangguk sambil tersenyum. Terlihat lesung pipit dari balik senyumannya. Ia membungkuk memperkenalkan diri seperti layaknya memperkenalkan diri pada seorang ratu. “Eki Haikal. Kau bisa memanggilnya Eki.”
Karina sedikit salah tingkah. Nafasnya seperti tertahan. Dan beberapa detik tersebut baginya adalah detik terlama dalam hidupnya, “Ada yang bisa aku bantu?”
Cowok itu menggeleng dan kembali tersenyum. Ia kemudian diam menatap Karina. Karina rasanya ingin memiliki ilmu melenyapkan diri. Ia merasakan sesuatu yang menekannya sejak berdiri di depan cowok bernama Eki tersebut.
“Seperti yang aku duga.” Kata Eki. Dalam nadanya ada kesan sombong, namun saat menatap wajahnya, satu-satunya anggapan yang muncul adalah ‘Orang ini megetahui seagalnya’.
Karina!!! Lagi ngapain kamu?” Teriak Rani dari seberang. Suaranya membuat Rani dan Karina langsung menjadi pusat perhatian. Karina teralihkan dari lamunannya. Sekarang rasa malu menderanya..
Aris mendatangi Karina. “Siapa?”
Karina menggelengkan kepalanya.
“Sampai besok.” Kata Eki sambil berbalik badan dan pergi.
“Woi!!!” Aris seperti membangunkan Karina. “Dihipnotis, kamu?”
“Hipnotis? Enak aja. Makan yuk!” Ajak Karina.
“Itu siapa?”
“Udaaah yuk ah. Aku laper.” Kata Karina sambil menarik tangan Aris. Aris saat ini hanya merasakan dua hal—pertama, kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, kedua, dinginnya tangan Karina yang menariknya.
***
Matahari bersinar malu-malu. Sinar-sinar yang tersisa berusaha menembus awan yang menghalangi. Membentuk tiang-tiang cahaya yang menerangi bagian-bagian bumi yang mulai gelap dan mengiringi para murid sekolah SMA Rani.
Seperti biasa, taman sebelah sekolah langsung penuh setelah bel pulang berbunyi..
“Haaaah... akhirnya pulang juga.” Kata Aris sambil menghela nafas panjang.
“Aduh, hari ini kayaknya aku langsung pulang, deh. Ada les biola soalnya.” Kata Rani.
“Oia, hari ini kan hari Rabu.” Kata Karina, “Latihan yang giat, ya.”
“Hihihi... rasanya nggak pantes—orang heboh kaya kamu main biola.” Nive meledek Rani sambil menyenggolnya.
“Aduh. Enak aja. Gini-gini aku tuh punya hati yang lembut lho, Ve.” Rani membela diri sambil bersikap sombong di depan Nive.
Sebuah motorsport berwarna biru mengkilat dipadu dengan warna putih dan kuning yang amat serasi menghampiri mereka. Sang pengendara motor tersebut melihat ke arah mereka dan membuka helm ­full face-nya.
“Karina.” Ia tersenyum melihat ke arah Karina.
Perhatian Karina langsung tersita kepada pengendara motor tersebut. Ia berusaha mengingat siapa orang yang menyapanya, “Maaf, siapa ya?”
“Eki. Kau masih ingat?” Kata cowok itu. Ia melepaskan sarung tangannya dan merancungkan kembali rambutnya ketika Karina melemparkan pandangan penuh tanya kepadanya, “Sekarang kau ingat?”
“Oh... Kau yang kemarin.” Kata Karina teringat.
“Ada perlu apa?” Potong Aris. Namun Eki hanya menggubrisnya dengan pandangan sesaat sebelum ia kembali memfokuskan pandangannya kepada Karina kembali.
“Kenapa kau tahu aku di sini?” Tanya Karina. Namun Eki hanya tersenyum kepadanya.
“Boleh aku antar kau pulang?” Tawar Eki.
“Hei, tunggu dulu!” Potong Aris lagi. Kali ini Eki benar-benar tidak menggubrisnya.
“Jalan Golf Barat Tiga, Nomor dua, Taman Golf Arcamanik.” Kata Eki tiba-tiba. Karina langsung salah tingkah mendengar apa yang dikatakannya.
“Dari mana kau tahu?” Tanya Karina terkaget. Perasaan menekan waktu bertemu dengan Eki sebelumnya ia rasakan kembali.
“Kau memata-matainya, ya?!” Aris mulai naik.
“Sangat menarik jika kita tahu lebih banyak hal.” Kata Eki, dan lagi-lagi tanpa menggubris Aris, “Jadi, boleh kuantar?”
Karina terdiam sesaat. Ketiga temannya juga tak ada yang memberanikan diri berbicara. Karina memandang Nive dan Rani. Jawaban yang tampak dari raut wajah mereka berdua bagi Karina rasanya berbunyi—Terserah kau saja. Aku juga bingung.
Karina menarik pandangannya ke arah Eki kembali. Ia meyakinkan dirinya, “Maaf, aku tak terbiasa diantar oleh orang yang belum aku kenal.”
Tanpa disangka, raut wajah Eki semakin bahagia. Ia tampak seperti baru saja memenangkan hadiah jalan-jalan ke Australia, “Jawaban yang aku inginkan.”
Karina dan ketiga temannya semakin kebingungan. Mereka memandang satu sama lain.
“Baiklah, aku pergi dulu. Sampai nanti Karina.” Kata Eki sambil mengenakan kembali sarung tangan dan helmnya, “Percayalah, suatu saat kau akan percaya.”
Eki menyalakan mesin motornya dan meluncur pergi (puluhan mata terpusat pada motor yang dibawanya). Karina dan ketiga temannya seakan baru saja bisa bernafas. Pertemuan dengan Eki membuat masing-masing merasakan perasaan yang sangat menekan. Karina mulai memercayai apa yang dirasakannya. Karisma Eki-lah yang terus menekan mereka. Di hadapan Karina baru saja melintas seorang cowok yang mampu membuatnya amat tertegun dan terus bertanya-tanya.
***

Percayalah, suatu saat kau akan percaya

Karina saat ini hanya berkasak-kusuk di kamarnya sendirian. Matahari senja tampak mulai meninggalkan langit. Meninggalkan buratan lembayung jingga. Karina turun tangga meninggalkan kamarnya dan menuju dapur di lantai satu unguk mengambil minum. Ia mengeluarkan gelas dari lemari dapur dan menuangkan air dari dispenser. Selesai menghabiskan air dalam gelas, Karina baru mengetahui apa yang diinginkannya. Makanan untuk mengisi perutnya.
Karina kembali membuka laci-laci pada lemari dapur, namun ia tak menemukan makanan sama sekali. Ia membuka kulkas dan mendapatinya nyaris kosong. Tidak ada yang bisa ia masak. Ia baru teringat isi kulkas terkuras habis untuk arisan yang diadakan oleh ibunya kemarin. Oleh karena itu juga sekarang ibunya pergi untuk berbelanja bersama ayahnya—meninggalkan Karina sendirian di rumah.
Karina kembali menaiki tangga menuju kamarnya dan mengambil cardigan birunya. Ia menuruni tangga dan menuju pintu keluar. Jika tidak ada yang bisa dimakan di rumah, Karina selalu pergi ke tukang sate yang berada dua blok dari rumahnya.
Karina mengunci pintu rumahnya dan berjalan menyusuri jalanan perumahan yang mulai gelap. Lampu jalan mulai menyala dan langit mulai sepenuhnya gelap. Suasana sepi mulai menyerang dirinya. Sekejap, ia ingin ada yang bisa nerjalan di sebelahnya untuk menemaninya.
Setelah berjalan beberapa meter, raungan khas motor besar datang dari arah belakangnya. Karina rasanya pernah mengenali suara motor ini. dadanya tiba-tiba berdegup kencang.
Sebuah motor besar berwarna biru mengkilat berhenti di sebelah Karina, “Tidak baik seorang gadis berjalan sendirian, terlebih di malam hari.” Eki nampak dari motor tersebut. Kali ini rambutnya sudah rancung. Ia tidak mengenakan helm.
Karina ternyata tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Ia melihat ke arah Eki dan merasa aneh—merinding seperti melihat hantu, “Kau punya bakat untuk muncul di mana-mana.”
“Tidak untuk semua orang. Hanya kamu.” Kata Eki tersenyum. Karina merasa sedikit diagungkan mendengar perkataan Eki, “Sekarang, boleh kuantar?”
Karina menghadapi pertanyaan yang sama dan menghadapi kebingungan yang sama, kembali. Otaknya terus berputar untuk mencari kekurangan dari orang yang ada di hadapannya tersebut—tapi apa? Ia sama sekali tidak menemukannya. Yang ada, ia mendapat rasa yang membuatnya percaya dan aman.
“Baiklah.” Kata Karina. Ia membuka step boncengan motor Eki dan naik di belakangnya, “Ada apa? Apa ini juga jawaban yang kau perkirakan?”
Eki yang sedang mengawasi Karina menaik motornya tiba-tiba tergelitik. Ia tertawa kecil. “Untuk kali ini, aku yang terkejut.”
Karina pun merasa tergelitik. Ia berusaha menahan tawanya. Namun badannya tak kuasa menahan getarannya, “Hihihi...”
“Pertama kalinya aku melihatmu tertawa.” Kata Eki, “Menyenangkan rasanya.”
“Apa? Karena melihatku tertawa?”
“Tidak. Tetapi karena aku bisa membuatmu tertawa.”
Karina semakin tak bisa berhenti tertawa. Ia memukul punggung Eki. “Gombal!”
Setelah memastikan Karina siap, Eki menjalankan motornya. Ia membawanya amat pelan. Sama sekali jauh dari perkiraan Karina bahwa pembawa motor besar tidak pernah bisa pelan. Tak lama, mereka sampai di tempat penjual sate yang biasa didatangi Karina. Eki memarkirkan motornya di depan tenda penjual sate (lagi-lagi motor Eki menarik perhatian orang sekitar).
“Eh, Non.” Sapa sang penjual sate kepada Karina, “sepuluh kayak biasa?”
“Enggak, Pak. Dua puluh.” Kata Eki.
“Waduh, siapa ini, Non? Cowoknya? Meuni kasep.” Kata Bapak penjual sate itu dengan logat Sundanya. Karina sedikit salah tingkah.
“Nggak...”
“Nggak, Pak.” Eki menyambung perkataan Karina. Karina antara kecewa dan lega, “Belum.”
Monster di dalam hati Karina sedikit mengamuk.
Penjual sate tersebut tertawa keras. Membuat pengunjung yang sedang makan teralihkan perhatiannya, “Sip. Sip. Ku Bapa doakeun.”
“Apa sih?!” Kata Karina sambil mencubit Eki. Eki hanya tertawa kecil.
Karina dan Eki mengambil tempat duduk tak jauh dari bapak penjual sate itu membakar satenya. Aroma harum khas sate ayam menyebar ke mana-mana. Memenuhi tenda dagangannya dengan aroma yang mengundang selera.
Setelah menunggu sebentar, bapak penjual sate itu datang membawakan dua piring nasi dan sepiring penuh sate, “Nih, Bapak kasih bonus lima. Silakan dimakan.”
“Pak, banyak banget.” Kata Karina.
“Masa segini nggak habis?” Kata si Bapak.
“Iya, Pak. Kebanyakan ini.” Kata Eki.
“Waduh, gimana ini?”
“Gini aja deh, Pak. Bapak belum makan, kan?” Tanya Eki. Bapak itu mengangguk, “Makan aja bareng-bareng, Pak. Toh masih belum penuh, kan yang beli?”
“Ah... jangan ah, Cep. Nanti ganggu yang lagi pacaran.”
Kan belum jadi. Kalau udah, baru ganggu..” Kata Eki sambil melemparkan tawa kecil ke arah Karina. Karina sedikit salah tingkah. Monster di dalam hatinya semakin, “Tenang aja, yang lima lagi juga saya bayar. Tapi bapak yang makan, Ok?”
“Wah, yang bener, Cep?” Tanya bapak itu. Eki mengangguk. “Asik, Bapak ikut makan sama anak muda. Rasanya bapak jadi lebih muda, ini.”
Mereka bertiga tertawa. Satu hal yang Karina salut pada orang yang baru dikenalnya ini—ia begitu mudah bergaul dengan orang lain, meski itu adalah orang kecil.
Waktu makan malam Karina tidak pernah seramai ini. Karina pun baru kali ini melihat bapak penjual sate begitu senang. Ia tertawa mendengar candaan Eki dan begitu antusias dengan topik pembicaraan yang dibawa Eki. Karina sangat menikmati pemandangan ini. melihat orang lain yang bahagia sambil bercerita membuatnya ikut bahagia. Rasanya seperti ada sesuatu yang mekar di dalam perasaannya dan sesuatu itu siap meledak setiap saat.
Karina pun tak kalah ikut menceritakan pengalamannya, entah itu di sekolah atau apapun pribadinya. Dan perlu Karina akui lagi, Eki adalah pendengar dan penimpal yang sangat baik. Ia tak pernah merasa begitu dipedulikan saat sedang berbicara. Eki pun selalu bisa berkomentar dengan sangat baik.
Selesai makan malam, Karina hendak membayar makannya, namun Eki langsung menyerobot untuk membayarinya, “Jangan.”
“Biarlah.” Kata Eki. Ia mengeluarkan uang dari dompetnya dan memberikannya kepada si bapak.
“Aku nggak biasa dibayarin.” Kata Karina.
“Nggak apa-apa. Kita nanti gantian aja.” Kata Eki sambil keluar tenda tukang sate dan menyiapkan motornya.
“Oke ya. Nanti biar aku yang bayarin.” Kata Karina.
“Siap nona besar.” Kata Eki.
Motor Eki meluncur pelan-pelan membawa Karina ke rumahnya. Dalam beberapa menit, mereka sudah sampai di depan rumah Karina, “Maaf, aku juga nggak bisa ngajak masuk. Rumah lagi kosong.”
“Yang itu pun tepat seperti yang aku inginkan.” Kata Eki. Karina menjadi semakin heran dengan cowok ini. apa yang ditebaknya selalu meleset. Berbeda dengan cowok-cowok biasanya yang selalu berusaha cari muka atau yang lainnya. Eki selalu mengambil jalan yang paling aneh menurut Karina—sama sekali tidak bisa ditebak, “Boleh kuminta penggantinya besok?”
“Apanya?”
“Kau janji mau bayarin aku gantian, kan?” Kata Eki. Karina berpikir sejenak dan teringat. Ia mengangguk kecil, “Besok?”
Karina memutar otaknya. Berpikir apakah jadwalnya kosong besok. Begitu mendapati bahwa dirinya kosong besok, tanpa ragu, Karina langsung mengangguk, “OK.”
Eki tersenyum. Senyumannya kali ini berbeda dengan senyuman biasanya. Seakan ada sesuatu yang membuatnya sangat senang meledak di dalam dirinya, “Baiklah besok pulang sekolah aku jemput.”
Karina mengangguk. Ia memasuki pagar rumahnya, “Kamu nggak pulang?”
“Aku akan menjagamu di sini sampai kedua orang tuamu pulang.” Kata Eki, “Tak ada yang menjamin perampok tidak mengincar rumah yang ditinggali seorang gadis, bukan?”
Karina menatap ke mata Eki. Berusaha mendapati pertanda bahwa Eki baru saja melemparkan lelucon, namun ia tidak menemukannya. Eki serius 100%, “Dasar aneh. Aku masuk, ya.”
Eki mengangguk. Ia melihat Karina menutup pintunya sembari mendadahinya yang Eki balas dengan dadahan juga. Ia mendorong motornya ke pinggir jalan dan duduk di atas motornya sambil melihat ke arah rumah minimalis dua lantai yang berada di hadapannya.
BRUK
Karina secara tidak sengaja membanting pintu rumahnya. ia menaruh telapak tangan di dadanya. Karina baru menyadari degupan kencang yang dialami jantungnya. Ia kemudian mengelus pipinya dengan tangannya, ia pun baru menyadari bahwa tangannya sangat dingin.
Karina melangkah ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Langkahnya sangat ringan seakan baru saja ada yang memasang sayap di punggungnya. Ia tiba di kamarnya dan segera meluncur ke jendela kamarnya. Ia menyingkap gorden jendela dan melihat ke seberang jalan. Sebuah motor besar berwarna biru mengkilat tampak dari balik kegelapan malam, dan di sebelahnya, seorang laki-laki berambut rancung tersenyum ke arahnya. Tatapannya begitu menusuk dan penuh makna yang tidak bisa ia mengerti.
Karina cepat-cepat menutup gordennya sambil tersenyum. Ia melompat ke arah tempat tidurnya dan segera menggapai telepon genggamnya.
***
KREEEEK
“Sore, Non.” Sapa Mbok Inem saat melihat Rani masuk rumah.
“Mama belum pulang?” Tanya Rani. Ia duduk di dekat pintu masuk dan melepas sepatu sekolahnya.
“Belum, Non. Katanya tadi Nyonya pulang telat. Mau ada rapat sama teman bisnisnya, Non.”
“Kalau papa udah pasti pulang malam ya?”
Mbok Inem menjawab dengan anggukan. Rani menghela nafasnya dalam-dalam. Ia selesai membuka sepatunya dan berjalan menuju ruang tengah.
“Aku mau makan. Lapar.” Kata Rani.
“Siap, Non. Mau makan apa?”
“Apa aja. Asal enak.” Kata Rani singkat. Mbok Inem tersenyum dan mengangguk. Ia langsung bergegas ke dapur belakang.
Rani menaruh sepatunya di rak sepatu. Ia berjalan menuju ruang makan. Ruang makan tersebut sangat kaya akan sinar matahari yang masuk karena dikelilingi oleh kaca—ayah Rani sangat menyukai rumah yang banyak cahaya, oleh karena itu rumahnya terdapat banyak kaca jendela besar.
Rani duduk di kursi meja makan. Menikmati gemericik air dari air mancur kecil yang diletakkan di dalam ruang makan. Sebuah air dialirkan pada sebuah tembok kecil yang di tanami batu alam. Di bawah tembok tersebut dibuat sebuah kolam kecil berisi ikan koi yang berdominasi warna merah dan putih. Kolam tersebut juga dihiasi dengan tanaman air yang dipadu dengan sangat serasi.
DUK
DUK
Terdengar gemuruh langkah kaki mendatangi Rani. Seorang anak kecil berambut pendek belah pinggir mendatangi Rani, “Kak, ayo maiiiin...”
“Kakak capek. Main sama Mbok Inem aja.” Jawab Rani. Ia menenggelamkan wajahnya dalam kedua lengannya yang disilangkan di atas meja.
“Kakak capek? Mau minum apa? Ryan bikinin es jeruk, ya?”
“Hmmm” Jawab Rani tanpa melihat ke arah Ryan.
Ryan dengan segera melesat ke dalam dapur mengikuti Mbok Inem. Ryan adalah adik Rani—Faithryan Putra nama panjangnya. Faith berarti kepercayaan. Kedua orang tuanya berharap Ryan bisa menjadi orang yang memiliki kepercayaan yang kuat dan mampu memegang kepercayaan yang telah orang lain berikan kepadanya. Ryan adalah anak bungsu dari tiga bersaudara.
Rani sendiri adalah anak kedua. Anak tengah-tengah. Nama panjangnya adalah Divina Tirani. Divina berasal dari kata divine yang artinya suci. Kedua orang tuanya memberikan nama tersebut dengan harapan agar semua hal yang dilakukan Rani adalah selalu kebaikan bagi dirinya dan semua orang di sekitarnya.
Anak sulung dari ketiga bersaudara ini adalah Mira—Elmira Blessingtin. Bless dari Blessingtin artinya berkah. Kedua orang tuanya merasa amat mendapat berkah dengan kehadiran Mira sebagai anak pertamanya.
Sosok kakak Rani—Mira adalah sosok yang sangat Rani rindukan. Ia jauh lebih menghormati kakaknya dibandingkan kedua orang tuanya yang sering pulang saat ia sudah larut tertidur dan berangkat bekerja sebelum ia terbangun. Ayah Rani adalah seorang pengusaha real estate yang amat sibuk keluar kota setiap harinya, sehingga waktunya untuk keluarga sangatlah minim.
Ibu Rani adalah seorang CEO (Chief of Executive Officer) sebuah perusahaan yang memproduksi makanan kecil. Kesibukannya pun tidak kalah dengan suaminya.
Yang Rani rindukan bukanlah dekapan dari ibunya saat ia bersedih ataupun dekapan seorang ayah saat ia kesepian. Namun kata-kata lembut dan belaian kasih seorang kakak kepadanya. Yang selalu mendekapnya saat ia bersedih. Yang selalu menemaninya saat ia kesepian. Yang selalu ada disaat ia membutuhkannya. Mira adalah seorang figur yang ingin dicontoh Rani. Sifatnya yang sabar, baik kepada semua orang, lembut, cantik, dan anggun. Rambut panjang hitam indah Rani pun sebenarnya adalah usahanya untuk menyamai sosok kakaknya.
Namun sangat disayangkan sosok yang luar biasa itu tidak bisa lagi dijumpai oleh Rani. Karena...
“Kakaaaak…” Ryan lari mendatangi Rani kembali. Suara gaduh langkah kakinya terdengar mendekati ruang makan. Ryan muncul dengan membawa segelas air jerukyang terlihat amat segar dan menaruhnya di meja di dekat Rani, “Apalagi, Kak?”
“Duh, pintarnya.” Kata Mbok Inem sambil memasuki ruang makan. Ia membawa nampan berisi sepiring nasi goreng yang nampaknya sangat lezat.
TREK
Mbok Inem menaruh piring tersebut di sebelah air jeruk yang telah dibuatkan oleh Ryan. “Silakan, Non.”
“Mmmm…” Kata Rani sambil tetap membenamkan wajahnya.
“Non, jangan lupa ya. Nanti jam 5 sore latihan seperti biasa.”
“Iyaaa… Nggak usah dibilangin juga aku udah tahu!” Kata Rani.
“Ok, Non. Bibi ke dapur lagi ya. Kalau mau apa-apa lagi panggil aja, ya, Non.” Kata Mbok Inem.
“Mbok… Ryan mau main bola.”
“Iya, mainnya di dapur aja, ya. Sambil temenin bibi cuci piring, ya…”
Rani menghela nafas panjang. Merasa malas makan melihat piring nasi goreng dan es jeruk yang telah dibuatkan oleh Ryan dan Mbok Inem. Mendengar kata latihan adalah yang terberat baginya setiap hari Rabu.
“Oh, iya, Kakak...” Ryan kembali lagi menghampiri Rani, “Kak Mira belum pulang dari Malaysia ya?”
Jantung Rani serasa mau meledak jika mendengar pertanyaan itu. Rani menjawabnya dengan anggukan kecil.
“Kalau sudah pulang, nanti kita bertiga main ke Dufan lagi sama-sama, yuk, Kak.” Kata Ryan. Mbok Inem cepat-cepat menghampiri Ryan.
“Iya, nanti pasti kita main ke sana lagi.” Mbok Inem menggendong Ryan.
“Nggak mau. Mbok Inem waktu itu aja mabuk naik bianglala.”
“Hehehe, Mbok nggak kuat ketinggian.” Kata Mbok Inem, “Neng, nasinya dimakan mumpung masih hangat. Mbok di dapur kalau Neng butuh apa-apa lagi, ya.”
Rani tidak menjawab Mbok Inem. Mbok Inem pergi membawa Ryan menuju dapur. Mbok Inem yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya tidak mau membiarkan Ryan mengatakan sesuatu lebih jauh lagi.
Beban ini terkadang tidak dapat Rani tahan. Ia tak mampu mengatakan kepada Ryan bahwa kakaknya, Mira, sudah tidak ada lagi di dunia ini. kakaknya telah meninggal saat ia SMP dan Ryan masih duduk di taman kanak-kanak. Penyebabnya adalah leukimia yang diderita Mira sejak masih anak-anak. Ia tak mampu jujur kepada Ryan bahwa Mira telah meninggal, dan juga, Rani tak mampu jujur kepada dirinya sendiri untuk menghadapi kenyataan bahwa Mira telah meninggal.
***
Waktu terasa meluncur begitu saja. Jam 5 datang dengan sangat cepat. Rani berdiri di ruang auditorium rumahnya yang amat lowong. Ruangan tersebut berada di sebelah ruang makan. Ayah Rani sengaja membuat ruangan ini untuk bisa mendengarkan anak-anaknya bermain musik.
Rani menggesekkan biola dalam dekapannya. Melodi yang dihasilkan dari gesekan tersebut sangat indah. Mengalun naik turun dengan ketukan yang pas. Namun bagi seorang ahli biola yang mendengarkan, lagu tersebut tidaklah lebih dari gesekan biola seorang yang malas berlatih. Seperti contohnya  perempuan yang duduk di tempat duduk auditorium yang memerhatikan permainan Rani—pelatih Rani.
“Stop.” Kata perempuan itu, “Bagaimana dengan permainan yang dilakukan dengan hati? Bagaimana jika kau menganggap biola tersebut adalah bagian dari dirimu yang meluapkan emosi dalam hatimu?” jari perempuan yang gemuk itu menunjuk biola yang digenggam Rani.
Rani merengut, “Bagaimana kalau kau segera angkat kaki saja dari hadapanku?!” Pikirnya dalam hati.
Pelatih biola Rani adalah seorang perempuan gemuk yang sangat hobi menyebutkan kata “bagaimana” dan selalu mengenakan pakaian yang matching dari atas sampai ke bawah, sepetinya tema pakaiannya hari ini adalah hijau tosca. Ia adalah seorang veteran pemain biola yang sudah berpengalaman  lebih dari 20 tahun menggesekkan senar pada dawai biola.
“Mainkan dengan hati. Biola adalah alat musik yang mencerminkan perasaan orang yang memainkannya. Bagaimana jika kau tidak menganggap remeh permainan biola ini?” Nasehat wanita gemuk itu.
Ini sangat memuakkan bagi Rani. Sangatlah lucu baginya sebuah rangkaian kayu yang diselingi senar khusus bisa mencerminkan perasaan seseorang yang memainkannya. Dan lagi, ia tidak terlalu menyukai biola. Ia ingin menjadi pemain piano yang piawai seperti kakaknya.
Sebuah grand piano mengkilap berwarna coklat mewah diletakkan di bagian tengah auditorium. Rani memandangnya dengan sedih. Ia sangat ingin dengan piawai memainkan piano tersebut seperti kakaknya. Ia masih sering teringat sewaktu ia kecil, kakaknya memainkan sebuah lagu untuk Rani saat Rani bersedih. Kakaknya memainkan lagu tersebut sampai Rani tertidur di kursi di sebelahnya. Rani sangat merindukan masa-masa yang tak bisa terulang itu. Tanpa Rani sadari, air mata menetes dari pipinya.

“Dan bagaimana jika kau menyeka air matamu itu?”

0 comments:

Post a Comment