“Aduh, aku telat!”
DUG
DUG
DUG
Gemuruh suara langkah kaki
terdengar dari lantai dua. Menciptakan keributan yang bagi penghuni rumah tersebut
sudah lumrah setiap paginya, “Mbok Inem gimana sih? Rani nggak dibangunin?!”
“Non… dari tadi sudah mbok
bangunkan.” Kata Mbok Inem
“Kalo ngebangunin yang bener dong,
Mbok. Sampai bangun!!!” Kata Rani sambil membetulkan rambutnya yang tergerai
lurus panjang dan menuju ruang makan, “Sarapan Rani mana? Belum mbok bikinin
ya?”
“Sudah, Non. Sudah dingin lagi
malah…”
“Angetin!” Teriak Rani.
Mbok Inem hanya tersenyum melihat Rani
yang sedang sibuk mondar-mandir ke kamar mandi, kemudian keluar lagi karena
lupa mengambil handuk. Baginya, Rani sudah seperti anak kandungnya sendiri. Ia
sangat tahu betul watak Rani dan apa makanan kesukaannya—nasi goreng buatan
Mbok Inem sendiri.
“Mbooook, lama banget sih?” Rani
melihat jam setelah selesai mandi, “Ya amppuuuuun!!! Mati berdiri Rani
lama-lama kalau gini!!”
“Nah, neng, nasi gorengnya sudah
kembali…” Rani berjalan cepat sambil menarik tangan Mbok Inem. Beruntung
refleknya masih secepat seperti sepuluh tahun silam, sehingga piring berisi
nasi goreng tersebut tidak tumpah, “Mbok mau di bawa ke mana ini, Non?”
“Ikut! Suapin Rani di mobil. Rani
belum ngerjain PR, nih.” Kata Rani sambil terus menyeret Mbok Inem ke pintu
depan. Di sana ia melihat seorang laki-laki dengan senyum tersungging di
bibirnya.
“Pagi, Non. Mas Ikin ganteng nggak
pakai kemeja ini?” Sapa Mas Ikin di depan rumahnya sambil memamerkan kemeja semi
formal yang membalut badannya yang kurus. Kacaunya, kemeja tersebut bermotif
bunga-bunga Hawaii. Membuat Mbok Inem sedikit menarik bibirnya. Mbok Inem
merasa seperti melihat iguana bercorak bunga-bunga.
Rani tak peduli dengan kelakar Mas
Ikin, “Tancap, Mas. Aku telaaaat!!!”
“Oh, siap, Non, siap.” Kata Mas Ikin bergegas ke dalam
mobil dan menyalakannya.
Rani duduk di tempat penumpang
bersama Mbok Inem.
“Mbok, suapin! Aku pake sepatu
dulu.” Kata Rani.
Mobil tetap diam.
“Mas, kenapa diam???”
“Mas masih bingung, Neng. Kita mau
ke mana?” Tanya Mas Ikin dengan polosnya.
“AAAAAAGHHH!! KE MAL?!! Ya ke
sekolah lah Mas! Mas pikir kita mau ke mana lagi?!!” Rani kesal sendiri.
“Oh, ke sekolah. Ya Mas pikir mau
main lagi kayak waktu itu,
kan sekarang udah telat.” Kata Mas Ikin sembari tertawa kecil.
“MAAAS IKIN NYEBELIIIIN!!!!!
AARRRGGGHHHH…”
***
Kicauan burung pagi menghiasi indahnya taman di sebelah SMA negeri 5
Bandung. Halaman sekitar sekolah sudah sepi dan terlihat satpam yang menjaga
gerbang sekolah hendak menutup gerbang.
“PAAAAAK!!! PAAAAK!!! PAK MIRZAAAA...” Terdengar suara seorang perempuan
dari kelas atas. Membuat satpam yang hendak menutup gerbang mengalihkan
perhatiannya.
“Jangan teriak-teriak gitu, Non. Ada apa ini?” Kata Pak Mirza dengan logat
Madura ciri khasnya.
“KUMIS BAPAK HARI INI KEREN, DEH.” Kata seorang gadis tembem dari kelas
atas. Seorang gadis cantik di sebelahnya tertawa.
“Ah, masa iya, Non?” Kata Pak Mirza ge-er sambil mengurut-urut kumisnya, “Setelah
sekian lama akhirnya... Heiiii
kamu...”
“Hehehehe makasih udah mau nunggu ya, Pak.” Kata Rani sambil neloyor masuk
gerbang.
“Kamu gak boleh masuk. Waduh, kecolongan lagi, saya.” Kata Pak Mirza
menepuk kepalanya.
“DADAH BAPAAAAAK.” Kata gadis di kelas atas tersebut.
“AWAS YA SAMPEYAN. SAYA TAK AKAN TERTIPU LAGI.” Kata Pak Mirza.
Kalimat itu telah ia ucapkan sama persis 3 kali minggu ini.
***
“Gila kau, Ran. Minggu ini kamu udah 4 kali telat. Untung ada kita.” Kata Nive,
gadis tembem yang tadi memanggil Pak Mirza dari kelas atas. Ia memiliki
perawakan yang sungguh subur. Rambutnya
keriting rapi menandakan orang yang rajin pergi ke salon minimal
dua kali seminggu dan kalau awal bulan bisa setiap hari. Pipinya tembem
dipadukan dengan wajahnya yang bulat dan putih sehingga terlihat seperti
gumpalan permen kapas rasa vanila.
“Kenapa kamu, Ran? Pasti tidurnya kemaleman terus.” Kata Karina, gadis
cantik yang berada di sebelah Nive. Rambutnya lurus indah bersaing dengan Rani,
namun tingkahnya amat lembut dan sabar. Sebuah kebalikan dari sifat dasar Rani.
Kedipan matanya yang dihiasi dengan bulu mata panjang lentiknya selalu mendapat
perhatian dari orang-orang di sekitarnya terutama dari lawan jenisnya. Tipe
gadis yang tak bisa ditolak oleh laki-laki manapun.
“Iya, Rin. Aku nonton DVD
sampai malem.” Kata Rani nyengir.
“Huuu, Barbie terus ditonton. Lama-lama jadi boneka, kamu!” Kata Aris.
Seorang cowok berwajah cuek yang berada di sebelah Karina.
“Eh, enak aja. Tadi malem tu aku nonton Titanic. Uuuuh, nangis aku
nontonnya.”
Aris melihat kepada Nive dan Karina dan ia menemukan mereka sepikiran dengannya. Aris, Nive dan Karina meledak
tertawa bersamaan.
“Kok pada ketawa, sih?” Rani merengut.
“Film jaman kapan itu, Rani... Up to date dong.” Kata Nive.
“Nggak apa-apa. Aku setuju. Aku juga kadang suka tersentuh lagi kok kalau
nonton film itu lagi.” Kata Karina. Rani tersenyum seperti anak kecil yang
baru dikembalikan mainannya.
“Jangan dibelain, Rin. Nanti ngelunjak tuh anak.” Kata Aris.
“Jahaaaat...” Rani merengut kembali.
“Tuh, kan mulai deh keluar anak kecilnya. Rani... Uuuuughhh...” Nive
mencubit pipi Rani sampai batas maksimal.
“Nive!! Sakit enduuuut!!!” Kata Rani. Nive langsung melompati bangku
menghindari kejaran Rani. “KALAU KETANGKEP AKU BIKIN KURUS, KAU!!!”
“SOK AJA KALAU BISA. WEEEEE”
BRUK
Nive menabrak Bu Mariana. Guru jam pelajaran pertama kelas mereka. Bu
Mariana terkapar dan tertimpa Nive. Nyaris tidak kelihatan karena tertutup
besarnya badan Nive.
“Siapkan diri kalian... ngek... kita ulangan Biologi... dan kamu, cepat
menyingkir. Sepertinya ibu salah urat. Aduuh.”
***
Sekolah negeri yang dijadikan tempat menuntut ilmu oleh Rani dan
teman-temannya adalah salah satu sekolah negeri yang terkenal dan menduduki
peringkat lima besar sekolah negeri di Bandung. Gedung sekolahnya sendiri adalah
gedung bekas peninggalan Belanda dengan ciri khas atap yang tinggi dan jendela
yang besar-besar.
Di sekitar bangunan sekolah tersebut ditumbuhi dengan pohon-pohon besar
yang amat rimbun. Tak jarang
pagi hari di daerah tersebut tertutupi embun tipis menutupi sampai . Rindangnya pepohonan tersebut juga
mendukung para siswa dsekolah tersebut untuk betah di sekolah dan
memberikan suasana yang nyaman untuk tidur di kelas bagi sebagian yang lain.
Yang paling disukai dari murid-murid sekolah tersebut adalah taman di
sebelah sekolah. Taman tersebut adalah sebuah taman yang dibuat oleh salah satu
perusahaan negara untuk menghijaukan lingkungan. Namun bila anak-anak sekolah
tersebut pulang sekolah, khususnya bagi murid laki-laki, taman tersebut berubah
fungsi menjadi lapangan sepak bola. Di sekeliling taman tersebut banyak
pedagang menjual berbagai macam kudapan dan makanan. Sangat tepat untuk menjadi
tempat melepas lelah sekaligus tempat ngeceng.
Jika pelajaran sekolah sedang berlangsung, jendela-jendela besar di
bangunan tersebut wajib dibuka. Hal tersebut dimaksudkan untuk membiarkan udara
segar memenuhi ruang kelas dan membuat otak murid-murid sekolah tetap segar.
Dari jendela lantai satu bangunan tersebut, misalnya. Seorang murid perempuan
sedang duduk serius menghadap mejanya. Di bawah jendela bagian luar, seorang perempuan setengah baya
berpakaian seperti bibi-bibi terlihat kebingungan sambil memegang buku Biologi
kelas 2 SMA dan kebingungan membacanya.
“Mbok Inem, cepat mana jawabannya?” Bisik Rani.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Murid-murid sekolah berhamburan keluar.
Mayoritas dari mereka langsung menuju taman di sebelah sekolah. Beberapa
langsung menuju jalan utama di depan sekolah untuk mencegat angkot pulang.
“PARAAAAH!!! Ulangan apaan tuh tadi?” Kata Nive sambil menggerutu.
“Gila! Serangan mendadak! Gua gak belajar apa-apa lagi tadi malem.” Kata
Aris.
“Aku dong, lancar.” Kata Rani sambil tertawa puas menertawakan Nive dan
Aris.
“Ah, kamu mah, paling-paling Mbok Inem kamu suruh buka buku, kan di balik
jendela?!” Kata Aris. Rani nyengir kuda.
“Kok tahu? Pinter kamu, Ris.”
“Wah, ini nih yang namanya curang tingkat tinggi.” Nive mencubit pipi Rani.
“Sakiiiit...” Kata Rani, “Yang penting kan efektif. Hehehe keren nggak
aku?”
“Huuuuu keren apanya?!!!!” Kata Aris dan Nive sambil mengacak-acak rambut
Rani.
“AAAAaaaghhh...” Rengek Rani, “Karina, tolooong...”
Karina hanya tertawa kecil. Dalam hal pelajaran, Karina adalah masternya. Urutan
satu atau dua selalu jadi langganannya di kelas. Bahkan untuk beberapa guru,
nilai 100 seakan masih kurang untuk Karina.
“Rambutku... Aghhh Aris nih!!!” Kata Rani berusaha merapikan rambut
panjangnya kembali, “Ganti rugi!!! Traktir aku ke Mall!!!”
“Eh, tunggu!” Kata Aris. Namun sebelum Aris menyelesaikan kata-katanya, Karina
dan Nive langsung menyetujui tuntutan Rani.
“Ide bagus!!! Ayo!!” Kata Nive semangat.
“Ayo, Ris... Ayo...” Karina tampak antusias.
“Engg...” Aris tampak bingung. Sebenarnya ia ingin pulang cepat hari ini,
tapi ini juga adalah salah satu kesenangannya—jalan-jalan bersama ketiga
temannya. “Ok...”
“YEEESS!!!”
***
Jalanan kota Bandung disinari teriknya matahari. Jalanan utama tampak penuh
dengan mobil-mobil yang berlalu-lalang. Beberapa angkot tampak berhenti di
pinggir jalan (beberapa dengan seenaknya) menunggu penumpang yang membutuhkan
jasanya.
Tampak di trotoar pinggir jalan beberapa pedagang kaki lima yang menjual
berbagai macam dagangannya, dimulai dengan makanan seperti misalnya pecel lele
dan ayam goreng, pakaian, sampai aksesoris yang beraneka macam.
Sebuah mobil sedan berwarna biru tua terlihat melintasi jalan raya Suci dan
menuju jalan layang Pasupati. Beberapa mobil di belakangnya nampak tidak sabar
untuk menyalip mobil tersebut. Namun mobil sedan biru tua itu tetap pada
gayanya sebelumnya—penuh dengan kehati-hatian. Dan mobil di belakangnya tetap
gencar melancarkan klakson ke arah mobil sedan biru tua yang berada di
depannya. Terlihat plat nomor mobil biru tua tersebut—D 412 IS—Aris.
“Jalannya cepet dikit kenapa?! Kita diklaksonin dari belakang tuh!!” Nive
cemas melihat ke arah belakang.
“Sabar!!! Gua takut nabrak.”
***
Mall di kota Bandung selalu tampak lebih ramai setelah selesainya jam
sekolah. Beberapa murid sekolah yang nampak malas langsung pulang ke rumah
memilih berkumpul bersama teman-temannya di sini. Menikmati kebersamaan sambil mencuci
mata dengan barang-barang baru atau yang menurut mereka indah walau terkadang
isi dompet tidak mendukung.
Rani, Nive, Karina, dan Aris berjalan di tempat terbuka yang disediakan
mall tersebut. Tempat yang menjadi favorit mereka untuk menghabiskan waktu.
Aris seringkali menjadi korban kenarsisan ketiga cewek itu. Ia disuruh
memotretkan mereka bertiga dengan kamera HP. Dan tak jarang Aris tidak kebagian
difoto.
“Ariiiis... fotoin Rani di deket pohon itu! Ceritanya anak ilang.” Kata
Rani.
“Bukannya udah anak ilang beneran.” Kata Aris sambil menerima HP berkamera
milik Rani, “Kamu nggak ikut, Rin?”
Karina tidak menjawab Aris. Padahal Aris yakin suaranya cukup terdengar
karena Karina berdiri di sebelah Aris.
“Rin?” Ulang Aris. Karina nampak terkejut.
“Eh, apa Ris?”
“Kamu kenapa?” Tanya Aris.
“Itu, Ris. Aku perhatiin, cowok itu perasaan lihat ke sini terus. Kenal?”
Tanya Karina sambil menunjuk secara diam-diam cowok berambut rancung mengenakan
jaket jeans yang berdiri di dekat stan yang menjual takoyaki.
“Nggak. Ngeceng kamu kali.” Kata Aris.
“Idih, males.” Kata Karina. “Aku ikut foto, ya...”
“Aaaang... yang ini solois!! Aku
sendiri.” Kata Rani menolak untuk foto bareng dengan Karina. Namun Karina tetap
ingin ikut nimbrung foto dengan Rani, “Aku nangis lho.”
“Sampai nangis segala.”
Kata Karina. “Nanti aku beliin crepes deh.”
“Asiiik.” Kata Rani.
“Siap ya... 1...2... Sip, lumayan bagus kalau nggak ada tuyul chubby nya.”
“Maksudnya aku, ya?!” Kata Rani.
Nive tertawa. Rani manyun lagi. “Udah ah. Makan yuk. Cacing perut gua harus
dikasi makan, nih.” Kata Nive.
“Ayuuuuk...” Kata Rani. “Aku pengen makan steak. Pokonya steak...”
Aris dan Nive langsung mengikuti Rani menuju tempat makan di dalam mall. Saat
Karina hendak menyusul mereka...
“Hei...”
Terdengar suara menyapa dari belakang Karina. Karina membalikkan badannya
sambil menyibak rambut lurusnya yang panjang. Ia melihat cowok berjaket jeans
yang tadi berdiri di belakangnya. Ia melihat ke sekitarnya. Memastikan bukan
dia yang dipanggil oleh cowok itu.
“Iya, kamu.” Kata cowok itu.
“Aku?”
Cowok itu mengangguk sambil tersenyum. Terlihat lesung pipit dari balik
senyumannya. Ia membungkuk memperkenalkan diri seperti layaknya memperkenalkan
diri pada seorang ratu. “Eki Haikal. Kau bisa memanggilnya Eki.”
Karina sedikit salah tingkah. Nafasnya seperti tertahan. Dan beberapa detik
tersebut baginya adalah detik terlama dalam hidupnya, “Ada yang bisa aku bantu?”
Cowok itu menggeleng dan kembali tersenyum. Ia kemudian diam menatap Karina.
Karina rasanya ingin memiliki ilmu melenyapkan diri. Ia merasakan sesuatu yang
menekannya sejak berdiri di depan cowok bernama Eki tersebut.
“Seperti yang aku duga.” Kata Eki. Dalam nadanya ada kesan sombong,
namun saat menatap wajahnya, satu-satunya anggapan yang muncul adalah ‘Orang
ini megetahui seagalnya’.
“Karina!!! Lagi ngapain
kamu?” Teriak Rani dari seberang. Suaranya membuat Rani dan Karina
langsung menjadi pusat perhatian. Karina
teralihkan dari lamunannya. Sekarang rasa malu menderanya..
Aris mendatangi Karina. “Siapa?”
Karina menggelengkan kepalanya.
“Sampai besok.” Kata Eki sambil berbalik badan dan pergi.
“Woi!!!” Aris seperti membangunkan Karina. “Dihipnotis, kamu?”
“Hipnotis? Enak aja. Makan yuk!” Ajak Karina.
“Itu siapa?”
“Udaaah yuk ah. Aku laper.” Kata Karina sambil menarik tangan Aris. Aris
saat ini hanya merasakan dua hal—pertama, kesal karena pertanyaannya tidak
dijawab, kedua, dinginnya tangan Karina yang menariknya.
***
Matahari bersinar malu-malu. Sinar-sinar yang
tersisa berusaha menembus awan yang menghalangi. Membentuk tiang-tiang
cahaya yang menerangi bagian-bagian bumi yang mulai gelap dan mengiringi para murid sekolah SMA Rani.
Seperti biasa, taman sebelah sekolah langsung penuh setelah bel
pulang berbunyi..
“Haaaah... akhirnya pulang juga.” Kata Aris sambil menghela nafas panjang.
“Aduh, hari ini kayaknya aku langsung pulang, deh. Ada les biola soalnya.”
Kata Rani.
“Oia, hari ini kan hari Rabu.” Kata Karina, “Latihan yang giat, ya.”
“Hihihi... rasanya nggak pantes—orang heboh kaya kamu main biola.” Nive
meledek Rani sambil menyenggolnya.
“Aduh. Enak aja. Gini-gini aku tuh punya hati yang lembut lho, Ve.” Rani
membela diri sambil bersikap sombong di depan Nive.
Sebuah motorsport berwarna
biru mengkilat dipadu dengan warna putih dan kuning yang amat serasi
menghampiri mereka. Sang pengendara
motor tersebut melihat ke arah mereka dan membuka helm full face-nya.
“Karina.” Ia tersenyum melihat ke arah Karina.
Perhatian Karina langsung tersita kepada pengendara motor tersebut. Ia
berusaha mengingat siapa orang yang menyapanya, “Maaf, siapa ya?”
“Eki. Kau masih ingat?” Kata cowok itu. Ia melepaskan sarung tangannya dan
merancungkan kembali rambutnya ketika Karina melemparkan pandangan penuh tanya
kepadanya, “Sekarang kau ingat?”
“Oh... Kau yang kemarin.” Kata Karina teringat.
“Ada perlu apa?” Potong Aris. Namun Eki hanya menggubrisnya dengan
pandangan sesaat sebelum ia kembali memfokuskan pandangannya kepada Karina
kembali.
“Kenapa kau tahu aku di sini?” Tanya Karina. Namun Eki hanya tersenyum
kepadanya.
“Boleh aku antar kau pulang?” Tawar Eki.
“Hei, tunggu dulu!” Potong Aris lagi. Kali ini Eki benar-benar tidak
menggubrisnya.
“Jalan Golf Barat Tiga, Nomor dua, Taman Golf Arcamanik.” Kata Eki
tiba-tiba. Karina langsung salah tingkah mendengar apa yang dikatakannya.
“Dari mana kau tahu?” Tanya Karina terkaget. Perasaan menekan waktu bertemu
dengan Eki sebelumnya ia rasakan kembali.
“Kau memata-matainya, ya?!” Aris mulai naik.
“Sangat menarik jika kita tahu lebih banyak hal.” Kata Eki, dan lagi-lagi
tanpa menggubris Aris, “Jadi, boleh kuantar?”
Karina terdiam sesaat. Ketiga temannya juga tak ada yang memberanikan diri
berbicara. Karina memandang Nive dan Rani. Jawaban yang tampak dari raut wajah
mereka berdua bagi Karina rasanya berbunyi—Terserah
kau saja. Aku juga bingung.
Karina menarik pandangannya ke arah Eki kembali. Ia meyakinkan dirinya,
“Maaf, aku tak terbiasa diantar oleh orang yang belum aku kenal.”
Tanpa disangka, raut wajah Eki semakin bahagia. Ia tampak seperti baru saja
memenangkan hadiah jalan-jalan ke Australia, “Jawaban yang aku inginkan.”
Karina dan ketiga temannya semakin kebingungan. Mereka memandang satu sama
lain.
“Baiklah, aku pergi dulu. Sampai nanti Karina.” Kata Eki sambil mengenakan
kembali sarung tangan dan helmnya, “Percayalah, suatu saat kau akan percaya.”
Eki menyalakan mesin motornya dan meluncur pergi (puluhan mata terpusat
pada motor yang dibawanya). Karina dan ketiga temannya seakan baru saja bisa
bernafas. Pertemuan dengan Eki membuat masing-masing merasakan perasaan yang
sangat menekan. Karina mulai memercayai apa yang dirasakannya. Karisma
Eki-lah yang terus menekan mereka.
Di hadapan Karina baru saja melintas
seorang cowok yang mampu membuatnya amat tertegun dan terus bertanya-tanya.
***
Percayalah, suatu saat kau akan percaya
Karina saat ini hanya berkasak-kusuk di kamarnya sendirian. Matahari senja tampak
mulai meninggalkan langit. Meninggalkan buratan lembayung jingga. Karina turun tangga meninggalkan
kamarnya dan menuju dapur di lantai satu unguk mengambil minum. Ia mengeluarkan
gelas dari lemari dapur dan menuangkan air dari dispenser. Selesai menghabiskan
air dalam gelas, Karina baru mengetahui apa yang diinginkannya. Makanan
untuk mengisi perutnya.
Karina kembali membuka laci-laci pada lemari dapur, namun ia tak menemukan
makanan sama sekali. Ia membuka kulkas dan mendapatinya nyaris kosong. Tidak
ada yang bisa ia masak. Ia baru teringat isi kulkas terkuras habis untuk arisan
yang diadakan oleh ibunya kemarin. Oleh karena itu juga sekarang ibunya pergi
untuk berbelanja bersama ayahnya—meninggalkan Karina sendirian di rumah.
Karina kembali menaiki tangga menuju kamarnya dan mengambil cardigan birunya. Ia menuruni tangga dan
menuju pintu keluar. Jika tidak ada yang bisa dimakan di rumah, Karina selalu pergi
ke tukang sate yang berada dua blok dari rumahnya.
Karina mengunci pintu rumahnya dan berjalan menyusuri jalanan perumahan
yang mulai gelap. Lampu jalan mulai menyala dan langit mulai sepenuhnya gelap. Suasana
sepi mulai menyerang dirinya. Sekejap, ia ingin ada yang bisa nerjalan di
sebelahnya untuk menemaninya.
Setelah berjalan beberapa meter, raungan khas motor besar datang dari arah
belakangnya. Karina rasanya pernah mengenali suara motor ini. dadanya tiba-tiba
berdegup kencang.
Sebuah motor besar berwarna biru mengkilat berhenti di sebelah Karina, “Tidak
baik seorang gadis berjalan sendirian, terlebih di malam hari.” Eki nampak dari
motor tersebut. Kali ini rambutnya sudah rancung. Ia tidak mengenakan helm.
Karina ternyata tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Ia melihat ke arah Eki
dan merasa aneh—merinding seperti melihat hantu, “Kau punya bakat untuk muncul
di mana-mana.”
“Tidak untuk semua orang. Hanya kamu.” Kata Eki tersenyum. Karina merasa
sedikit diagungkan mendengar perkataan Eki, “Sekarang, boleh kuantar?”
Karina menghadapi pertanyaan yang sama dan menghadapi kebingungan yang
sama, kembali. Otaknya terus berputar untuk mencari kekurangan dari orang yang
ada di hadapannya tersebut—tapi apa? Ia sama sekali tidak menemukannya. Yang
ada, ia mendapat rasa yang membuatnya percaya dan aman.
“Baiklah.” Kata Karina. Ia membuka step
boncengan motor Eki dan naik di belakangnya, “Ada apa? Apa ini juga jawaban
yang kau perkirakan?”
Eki yang sedang mengawasi Karina menaik motornya tiba-tiba tergelitik. Ia
tertawa kecil. “Untuk kali ini, aku yang terkejut.”
Karina pun merasa tergelitik. Ia berusaha menahan tawanya. Namun badannya tak
kuasa menahan getarannya, “Hihihi...”
“Pertama kalinya aku melihatmu tertawa.” Kata Eki, “Menyenangkan rasanya.”
“Apa? Karena melihatku tertawa?”
“Tidak. Tetapi karena aku bisa membuatmu tertawa.”
Karina semakin tak bisa berhenti tertawa. Ia memukul punggung Eki. “Gombal!”
Setelah memastikan Karina siap, Eki menjalankan motornya. Ia membawanya
amat pelan. Sama sekali jauh dari perkiraan Karina bahwa pembawa motor besar
tidak pernah bisa pelan. Tak lama, mereka sampai di tempat penjual sate yang
biasa didatangi Karina. Eki memarkirkan motornya di depan tenda penjual sate
(lagi-lagi motor Eki menarik perhatian orang sekitar).
“Eh, Non.” Sapa sang penjual sate kepada Karina, “sepuluh kayak biasa?”
“Enggak, Pak. Dua puluh.” Kata Eki.
“Waduh, siapa ini, Non? Cowoknya? Meuni
kasep.” Kata Bapak penjual sate itu dengan logat Sundanya. Karina sedikit
salah tingkah.
“Nggak...”
“Nggak, Pak.” Eki menyambung perkataan Karina. Karina antara kecewa
dan lega, “Belum.”
Monster di dalam hati Karina
sedikit mengamuk.
Penjual sate tersebut tertawa keras. Membuat pengunjung yang sedang makan
teralihkan perhatiannya, “Sip. Sip. Ku Bapa
doakeun.”
“Apa sih?!” Kata Karina sambil mencubit Eki. Eki hanya tertawa kecil.
Karina dan Eki mengambil tempat duduk tak jauh dari bapak penjual sate itu
membakar satenya. Aroma harum khas sate ayam menyebar ke mana-mana. Memenuhi
tenda dagangannya dengan aroma yang mengundang selera.
Setelah menunggu sebentar, bapak penjual sate itu datang membawakan dua
piring nasi dan sepiring penuh sate, “Nih, Bapak kasih bonus lima. Silakan dimakan.”
“Pak, banyak banget.” Kata Karina.
“Masa segini nggak habis?” Kata si Bapak.
“Iya, Pak. Kebanyakan ini.” Kata Eki.
“Waduh, gimana ini?”
“Gini aja deh, Pak. Bapak belum makan, kan?” Tanya Eki. Bapak itu mengangguk,
“Makan aja bareng-bareng, Pak. Toh masih belum penuh, kan yang beli?”
“Ah... jangan ah, Cep. Nanti ganggu yang lagi pacaran.”
“Kan belum jadi. Kalau udah, baru ganggu..” Kata Eki sambil melemparkan tawa kecil ke arah Karina.
Karina sedikit salah tingkah. Monster di dalam hatinya semakin, “Tenang aja, yang lima lagi juga saya
bayar. Tapi bapak yang makan, Ok?”
“Wah, yang bener, Cep?” Tanya bapak itu. Eki mengangguk. “Asik, Bapak ikut
makan sama anak muda. Rasanya bapak jadi lebih muda, ini.”
Mereka bertiga tertawa. Satu hal yang Karina salut pada orang yang baru
dikenalnya ini—ia begitu mudah bergaul dengan orang lain, meski itu adalah
orang kecil.
Waktu makan malam Karina tidak pernah seramai ini. Karina pun baru kali ini
melihat bapak penjual sate begitu senang. Ia tertawa mendengar candaan Eki dan
begitu antusias dengan topik pembicaraan yang dibawa Eki. Karina sangat
menikmati pemandangan ini. melihat orang lain yang bahagia sambil bercerita
membuatnya ikut bahagia. Rasanya seperti ada sesuatu yang mekar di dalam perasaannya
dan sesuatu itu siap meledak setiap saat.
Karina pun tak kalah ikut menceritakan pengalamannya, entah itu di sekolah
atau apapun pribadinya. Dan perlu Karina akui lagi, Eki adalah pendengar dan
penimpal yang sangat baik. Ia tak pernah merasa begitu dipedulikan saat sedang berbicara.
Eki pun selalu bisa berkomentar dengan sangat baik.
Selesai makan malam, Karina hendak membayar makannya, namun Eki langsung
menyerobot untuk membayarinya, “Jangan.”
“Biarlah.” Kata Eki. Ia mengeluarkan uang dari dompetnya dan memberikannya kepada
si bapak.
“Aku nggak biasa dibayarin.” Kata Karina.
“Nggak apa-apa. Kita nanti gantian aja.” Kata Eki sambil keluar tenda
tukang sate dan menyiapkan motornya.
“Oke ya. Nanti biar aku yang bayarin.” Kata Karina.
“Siap nona besar.” Kata Eki.
Motor Eki meluncur pelan-pelan membawa Karina ke rumahnya. Dalam beberapa
menit, mereka sudah sampai di depan rumah Karina, “Maaf, aku juga nggak bisa
ngajak masuk. Rumah lagi kosong.”
“Yang itu pun tepat seperti yang aku inginkan.” Kata Eki. Karina menjadi
semakin heran dengan cowok ini. apa yang ditebaknya selalu meleset. Berbeda
dengan cowok-cowok biasanya yang selalu berusaha cari muka atau yang lainnya. Eki
selalu mengambil jalan yang paling aneh menurut Karina—sama sekali tidak bisa
ditebak, “Boleh kuminta penggantinya besok?”
“Apanya?”
“Kau janji mau bayarin aku gantian, kan?” Kata Eki. Karina berpikir sejenak
dan teringat. Ia mengangguk kecil, “Besok?”
Karina memutar otaknya. Berpikir apakah jadwalnya kosong besok. Begitu
mendapati bahwa dirinya kosong besok, tanpa ragu, Karina langsung mengangguk,
“OK.”
Eki tersenyum. Senyumannya kali ini berbeda dengan senyuman biasanya.
Seakan ada sesuatu yang membuatnya sangat senang meledak di dalam dirinya,
“Baiklah besok pulang sekolah aku jemput.”
Karina mengangguk. Ia memasuki pagar rumahnya, “Kamu nggak pulang?”
“Aku akan menjagamu di sini sampai kedua orang tuamu pulang.” Kata Eki,
“Tak ada yang menjamin perampok tidak mengincar rumah yang ditinggali seorang
gadis, bukan?”
Karina menatap ke mata Eki. Berusaha mendapati pertanda bahwa Eki baru saja
melemparkan lelucon, namun ia tidak menemukannya. Eki serius 100%, “Dasar aneh.
Aku masuk, ya.”
Eki mengangguk. Ia melihat Karina menutup pintunya sembari mendadahinya
yang Eki balas dengan dadahan juga. Ia mendorong motornya ke pinggir jalan dan duduk
di atas motornya sambil melihat ke arah rumah minimalis dua lantai yang berada
di hadapannya.
BRUK
Karina secara tidak sengaja membanting pintu rumahnya. ia menaruh telapak
tangan di dadanya. Karina baru menyadari degupan kencang yang dialami
jantungnya. Ia kemudian mengelus pipinya dengan tangannya, ia pun baru
menyadari bahwa tangannya sangat dingin.
Karina melangkah ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Langkahnya sangat
ringan seakan baru saja ada yang memasang sayap di punggungnya. Ia tiba di kamarnya dan segera meluncur
ke jendela kamarnya. Ia menyingkap gorden jendela dan melihat ke seberang
jalan. Sebuah motor besar berwarna biru mengkilat tampak dari balik kegelapan
malam, dan di sebelahnya, seorang laki-laki berambut rancung tersenyum ke
arahnya. Tatapannya begitu menusuk dan penuh makna yang tidak bisa ia mengerti.
Karina cepat-cepat menutup gordennya sambil tersenyum. Ia melompat ke arah
tempat tidurnya dan segera menggapai telepon genggamnya.
***
KREEEEK
“Sore, Non.” Sapa Mbok Inem saat
melihat Rani masuk rumah.
“Mama belum pulang?” Tanya Rani.
Ia duduk di dekat pintu masuk dan melepas sepatu sekolahnya.
“Belum, Non. Katanya tadi Nyonya
pulang telat. Mau ada rapat sama teman bisnisnya, Non.”
“Kalau papa udah pasti pulang
malam ya?”
Mbok Inem menjawab dengan
anggukan. Rani menghela nafasnya dalam-dalam. Ia selesai membuka sepatunya dan
berjalan menuju ruang tengah.
“Aku mau makan. Lapar.” Kata Rani.
“Siap, Non. Mau makan apa?”
“Apa aja. Asal enak.” Kata Rani
singkat. Mbok Inem tersenyum dan mengangguk. Ia langsung bergegas ke dapur
belakang.
Rani menaruh sepatunya di rak
sepatu. Ia berjalan menuju ruang makan. Ruang makan tersebut sangat kaya akan
sinar matahari yang masuk karena dikelilingi oleh kaca—ayah Rani sangat
menyukai rumah yang banyak cahaya, oleh karena itu rumahnya terdapat banyak
kaca jendela besar.
Rani duduk di kursi meja makan.
Menikmati gemericik air dari air mancur kecil yang diletakkan di dalam ruang
makan. Sebuah air dialirkan pada sebuah tembok kecil yang di tanami batu alam.
Di bawah tembok tersebut dibuat sebuah kolam kecil berisi ikan koi yang
berdominasi warna merah dan putih. Kolam tersebut juga dihiasi dengan tanaman
air yang dipadu dengan sangat serasi.
DUK
DUK
Terdengar gemuruh langkah kaki mendatangi Rani. Seorang anak kecil berambut
pendek belah pinggir mendatangi Rani, “Kak, ayo maiiiin...”
“Kakak capek. Main sama Mbok Inem aja.” Jawab Rani. Ia menenggelamkan wajahnya
dalam kedua lengannya yang disilangkan di atas meja.
“Kakak capek? Mau minum apa? Ryan bikinin es jeruk, ya?”
“Hmmm” Jawab Rani tanpa melihat ke arah Ryan.
Ryan dengan segera melesat ke dalam dapur mengikuti Mbok Inem. Ryan adalah adik
Rani—Faithryan Putra nama panjangnya. Faith berarti kepercayaan. Kedua orang
tuanya berharap Ryan bisa menjadi orang yang memiliki kepercayaan yang kuat dan
mampu memegang kepercayaan yang telah orang lain berikan kepadanya. Ryan adalah
anak bungsu dari tiga bersaudara.
Rani sendiri adalah anak kedua. Anak tengah-tengah. Nama panjangnya adalah
Divina Tirani. Divina berasal dari kata divine yang artinya suci. Kedua orang
tuanya memberikan nama tersebut dengan harapan agar semua hal yang dilakukan
Rani adalah selalu kebaikan bagi dirinya dan semua orang di sekitarnya.
Anak sulung dari ketiga bersaudara ini adalah Mira—Elmira Blessingtin. Bless
dari Blessingtin artinya berkah. Kedua orang tuanya merasa amat mendapat berkah
dengan kehadiran Mira sebagai anak pertamanya.
Sosok kakak Rani—Mira adalah sosok yang sangat Rani rindukan. Ia jauh lebih
menghormati kakaknya dibandingkan kedua orang tuanya yang sering pulang saat ia
sudah larut tertidur dan berangkat bekerja sebelum ia terbangun. Ayah Rani
adalah seorang pengusaha real estate yang amat sibuk keluar kota setiap
harinya, sehingga waktunya untuk keluarga sangatlah minim.
Ibu Rani adalah seorang CEO (Chief of Executive Officer) sebuah perusahaan
yang memproduksi makanan kecil. Kesibukannya pun tidak kalah dengan suaminya.
Yang Rani rindukan bukanlah dekapan dari ibunya saat ia bersedih ataupun dekapan
seorang ayah saat ia kesepian. Namun kata-kata lembut dan belaian kasih seorang
kakak kepadanya. Yang selalu mendekapnya saat ia bersedih. Yang selalu
menemaninya saat ia kesepian. Yang selalu ada disaat ia membutuhkannya. Mira
adalah seorang figur yang ingin dicontoh Rani. Sifatnya yang sabar, baik kepada
semua orang, lembut, cantik, dan anggun. Rambut panjang hitam indah Rani pun
sebenarnya adalah usahanya untuk menyamai sosok kakaknya.
Namun sangat disayangkan sosok yang luar biasa itu tidak bisa lagi dijumpai
oleh Rani. Karena...
“Kakaaaak…” Ryan lari mendatangi
Rani kembali. Suara gaduh langkah kakinya terdengar mendekati ruang makan. Ryan
muncul dengan membawa segelas air jerukyang terlihat amat segar dan menaruhnya
di meja di dekat Rani, “Apalagi, Kak?”
“Duh, pintarnya.” Kata Mbok Inem
sambil memasuki ruang makan. Ia membawa nampan berisi sepiring nasi goreng yang
nampaknya sangat lezat.
TREK
Mbok Inem menaruh piring tersebut
di sebelah air jeruk yang telah dibuatkan oleh Ryan. “Silakan, Non.”
“Mmmm…” Kata Rani sambil tetap
membenamkan wajahnya.
“Non, jangan lupa ya. Nanti jam 5
sore latihan seperti biasa.”
“Iyaaa… Nggak usah dibilangin juga
aku udah tahu!” Kata Rani.
“Ok, Non. Bibi ke dapur lagi ya.
Kalau mau apa-apa lagi panggil aja, ya, Non.” Kata Mbok Inem.
“Mbok… Ryan mau main bola.”
“Iya, mainnya di dapur aja, ya.
Sambil temenin bibi cuci piring, ya…”
Rani menghela nafas panjang.
Merasa malas makan melihat piring nasi goreng dan es jeruk yang telah dibuatkan
oleh Ryan dan Mbok Inem. Mendengar kata latihan adalah yang terberat baginya
setiap hari Rabu.
“Oh, iya, Kakak...” Ryan kembali lagi menghampiri Rani, “Kak Mira belum
pulang dari Malaysia ya?”
Jantung Rani serasa mau meledak jika mendengar pertanyaan itu. Rani
menjawabnya dengan anggukan kecil.
“Kalau sudah pulang, nanti kita bertiga main ke Dufan lagi sama-sama, yuk,
Kak.” Kata Ryan. Mbok Inem cepat-cepat menghampiri Ryan.
“Iya, nanti pasti kita main ke sana lagi.” Mbok Inem menggendong Ryan.
“Nggak mau. Mbok Inem waktu itu aja mabuk naik bianglala.”
“Hehehe, Mbok nggak kuat ketinggian.” Kata Mbok Inem, “Neng, nasinya
dimakan mumpung masih hangat.
Mbok di dapur kalau Neng butuh apa-apa lagi, ya.”
Rani tidak menjawab Mbok Inem. Mbok Inem pergi membawa Ryan menuju dapur.
Mbok Inem yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya tidak mau membiarkan Ryan
mengatakan sesuatu lebih jauh lagi.
Beban ini terkadang tidak dapat Rani tahan. Ia tak mampu mengatakan kepada
Ryan bahwa kakaknya, Mira, sudah tidak ada lagi di dunia ini. kakaknya telah
meninggal saat ia SMP dan Ryan masih duduk di taman kanak-kanak. Penyebabnya
adalah leukimia yang diderita Mira sejak masih anak-anak. Ia tak mampu jujur
kepada Ryan bahwa Mira telah meninggal, dan juga, Rani tak mampu jujur kepada
dirinya sendiri untuk menghadapi kenyataan bahwa Mira telah meninggal.
***
Waktu terasa meluncur begitu saja.
Jam 5 datang dengan sangat cepat. Rani berdiri di ruang auditorium rumahnya
yang amat lowong. Ruangan tersebut berada di sebelah ruang makan. Ayah Rani
sengaja membuat ruangan ini untuk bisa mendengarkan anak-anaknya bermain musik.
Rani menggesekkan biola dalam
dekapannya. Melodi yang
dihasilkan dari gesekan tersebut sangat indah. Mengalun naik turun dengan ketukan
yang pas. Namun bagi seorang ahli biola yang mendengarkan, lagu tersebut
tidaklah lebih dari gesekan biola seorang yang malas berlatih. Seperti contohnya
perempuan yang duduk di tempat duduk
auditorium yang memerhatikan permainan Rani—pelatih Rani.
“Stop.” Kata perempuan itu, “Bagaimana
dengan permainan yang dilakukan dengan hati? Bagaimana jika kau menganggap
biola tersebut adalah bagian dari dirimu yang meluapkan emosi dalam hatimu?”
jari perempuan yang gemuk itu menunjuk biola yang digenggam Rani.
Rani merengut, “Bagaimana kalau kau segera angkat kaki saja
dari hadapanku?!” Pikirnya dalam hati.
Pelatih biola Rani adalah seorang
perempuan gemuk yang sangat hobi menyebutkan kata “bagaimana” dan selalu mengenakan pakaian yang matching dari atas sampai ke bawah,
sepetinya tema pakaiannya hari ini adalah hijau tosca. Ia adalah seorang veteran pemain biola yang
sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun menggesekkan senar pada
dawai biola.
“Mainkan dengan hati. Biola adalah
alat musik yang mencerminkan perasaan orang yang memainkannya. Bagaimana jika
kau tidak menganggap remeh permainan biola ini?” Nasehat wanita gemuk itu.
Ini sangat memuakkan bagi Rani.
Sangatlah lucu baginya sebuah rangkaian kayu yang diselingi senar khusus bisa
mencerminkan perasaan seseorang yang memainkannya. Dan lagi, ia tidak terlalu
menyukai biola. Ia ingin menjadi pemain piano yang piawai seperti kakaknya.
Sebuah grand piano mengkilap berwarna coklat mewah diletakkan di bagian
tengah auditorium. Rani memandangnya dengan sedih. Ia sangat ingin dengan
piawai memainkan piano tersebut seperti kakaknya. Ia masih sering teringat
sewaktu ia kecil, kakaknya memainkan sebuah lagu untuk Rani saat Rani bersedih.
Kakaknya memainkan lagu tersebut sampai Rani tertidur di kursi di sebelahnya.
Rani sangat merindukan masa-masa yang tak bisa terulang itu. Tanpa Rani sadari,
air mata menetes dari pipinya.
“Dan bagaimana jika kau menyeka air
matamu itu?”
0 comments:
Post a Comment