Wednesday, 10 July 2013

Dawai Biola Tirani - Bab 2


 Rani melemparkan dirinya ke kasur kamarnya. Merasa lega setelah melewati kelas biolanya yang menurutnya sangat menyiksa. Rani membalikkan dirinya sehingga ia telungkup dan meraih boneka Teddy Bear putih dari sebelah bantal dan memeluknya. Sebuah kebiasaan baginya untuk memeluk Teddy Bear nya jika ia merasakan sesuatu—entah itu senang ataupun tidak (bahkan terkadang boneka tersebut menjadi teman mengobrolnya jika sedang ingin curhat).
DRRRRRRTTT
HP Rani berbunyi. Rani meraihnya dengan malas. Ia melihat nama di dalam HP-nya—bertuliskan “^Karina_Chan^”—Nama Karina di HP Rani. Rani sedikit bersemangat dan mengangkat teleponnya.
“Karina…” Sapa Rani manja.
“Rani… orang itu datang lagi.”
“Oia? Dia ganggu kamu? Awas aja liatin tu orang…”
“Nggak, Ran. Denger aku dulu.” Kata Karina. Terasa nada bicara orang yang sedang bahagia dalam nada bicara Karina, “Kupikir… Dia orang baik. ”
“Hah? Cieeee…” Rani meledek, “gimana? Gimana? Ceritain!”
“Hihihi.” Karina tertawa geli, “Gini, Ran, ceritanya...”
Karina menceritakan apa saja yang sudah ia lewati bersama dengan Eki. Dari awal saat ia sendiri di rumah, mencari makan, bertemu Eki, bercanda dengan tukang sate, dan seterusnya. Rani dengan antusias mendengarkan cerita Karina. Ia sangat senang melihat Karina yang susah dekat dengan cowok bisa seperti ini.
“Jadi, kalian besok jalan? Dan kamu yang traktir?” Tanya Rani.
“Iya. Kita gantian. Tadi Eki yang bayarin, besok aku.”
“Cie... nggak apa-apa, deh, Rin. Yang penting kalau Karina seneng Rani juga ikut seneng.”
“Makasih ya, Ran. Kamu emang temen yang paling baik.”
“Baru nyadar, ya?”
Karina terdengar cekikikan sendiri di seberang sana, “Ok, deh. Aku mau tidur dulu. Makasih banyak ya, Ran.”
***
Siang ini Aris tampak tidak bersahabat. Bu Mariana baru saja memarahinya karena hanya mengisi nama dan nomor induk siswa dalam lembar jawaban ulangannya, “Gila! Udah tahu gua nggak belajar. Masih juga dimarahin. Parah nih!” Aris meremas-remas kertas ujiannya yang terdapat gambar telur bulat di pojok kanan atasnya—nilai nol.
“Udah, Aris… Lagian kamunya juga, sih. Nggak belajar. Jelek, kan nilainya.” Kata Rani. Nadanya sok menasehati.
“Diem kamu! Nyebelin!” Kata Aris, “Kamu juga nyuruh Mbok Inem Ngedikte dari bawah jendela, kan?”
“Idiiiih! Masih bagus Rani ngasih tahu. Huh!” Rani menggerutu, “Lihat nih, Nive. Meski nilainya jelek, tapi masih bisa senyum-senyum. Iya nggak, Niv?”
“Eh… Oh… Heu euh.” Kata Nive agak canggung. Jelas tidak ada yang senang mendapat nilai jelek dan Nive adalah salah satunya. Nilainya hanya 30, “Eh, Ran. Jalan yuk, ah. Aku bête nih.”
“Setuju!!! Kita makan di luar! Ayo Aris…” Kata Rani tampak antuisias.
“Iya…” Kata Aris tampak sedikit terhibur, “Kita mau ke mana?”
“Hmmm… Ke mana ya? Kata Karin kita mending ke mana?” Tanya Rani kepada Karina. Namun Rani mendapati Karina sedang melamun. Rani mengibas-kibaskan tangannya di depan muka Karina.
“Eh… Apa?” Karina tampak tersadar.
“Heu… ngelamun. Ditanya Aris tuh, kita mau ke mana.” Kata Nive.
“Oh, maaf, Ris. Tapi aku mau…” belum selesai Karina menyelesaikan kata-katanya, gerungan motor terdengar dari kejauhan mendatangi mereka berempat.
Sebuah motor sport biru mengkilat berhenti di dekat mereka. Eki memperlihatkan wajahnya dengan membuka helmnya, “Karina.” Sapanya. Ia juga member senyum ke arah Rani, Nive dan Aris. Hanya Aris yang tidak membalas senyum tersebut, “Berangkat sekarang?”
Karina melihat ketiga temannya dengan ragu. Tetapi Rani member isyarat dengan mengangguk-angguk. Karina melemparkan pandang ke arah Eki, “Ayo.”
Karina memakai helm yang diberikan oleh Eki. Aris terbelalak, “Hei, bukannya kita mau jalan?”
“Maaf, Ris. Aku udah janji duluan.” Kata Karina.
“Dengan? Dia?” Aris tampak salah tingkah bercampur kesal, “AAArrghhh!!”
“Udah, Ris. Udah.” Rani berusaha membisiki Aris.
“Duluan…” Kata Eki setelah memastikan Karina telah duduk dengan benar di belakangnya.
Motor sport biru itu meluncur maju. Rani melemparkan lambaian kepada mereka berdua. Dan dalam hitungan detik motor tersebut sudah tidak terlihat lagi.
“Kenapa sih tuh anak? Nyebelin banget!” Kata Aris mengumpat-umpat Eki.
“Eh, jangan gitu. Gitu-gitu juga dia baik ke Karina.” Kata Rani.
“Kok bisa jalan bareng, mereka?” Nive pun terlihat kaget.
“Nanti deh Rani certain. Kalian sih nggak update.” Kata Rani, “Gimana kalau kita creambath sekarang? Biar fresh. Nanti aku certain, deh.”
“Asiiik! Bener ya, Ran?!” Nive bersemangat. Rani menjawabnya dengan anggukan cepat.
“Hei, tunggu. Kalian creambath aku gimana?” Tanya Aris.
Nive dan Rani saling bertukar pandang, “Kamu juga harus dicreambath!!!”
“Hah?! Hei!! Tunggu!! CREAMBATH?!
***
Karina bertanya-tanya di dalam hati—akan dibawa ke mana dirinya? Mengapa ia begitu saja mau menerima ajakan dari orang yang baru beberapa kali ia temui? Mengapa ia lebih memilih pergi dengan orang ini dibandingkan dengan teman-temannya? Dan mengapa jantungnya berdegup tidak beraturan?
Eki membawa Karina ke arah Lembang—daerah atas Bandung. Daerah yang cukup dingin dan ditumbuhi banyak tempat makan yang menjual jagung dan ketan bakar. Daerah yang jarang dikunjungi Karina yang biasa dibawa Rani dan Nive ke daerah mal-mal di Bandung.
Mereka berdua sampai di daerah pegunungan Lembang dekat Cikole. Karina mulai bisa melihat perkebunan teh di kanan kiri jalan. Karina mendapatkan sebuah suasana yang jarang bisa ia dapatkan—kelegaan.
Eki membuka helm nya dan menggantungkannya di lengannya.
“Hei, bahaya.” Kata Karina.
“Cobalah.”
“Nggak ah.” Karina menolak. Baginya menaiki motor sudah cukup mengerikan dengan helm. Dan mungkin sebuah mimpi buruk jika ia terjatuh tanpa helm menempel di kepalanya.
“Cobalah.”
Karina memutar otaknya. Menimbang-nimbang untuk mengabulkan kata-kata Eki atau tidak. Karina meraih ikat helmnya dan melepas helm di kepalanya. Dalam sekejap ia merasakan hembusan angin menerpa wajahnya dan mengibarkan rambut panjangnya. Ia mendapati sensasi yang sangat luar biasa. Belum pernah ia merasakan perasaan ini, “Ki, rasanya aneh.”
“Bebas?”
Jantung Karina berdegup. Eki langsung bisa menerjemahkan perasaan yang sedang dialaminya namun tidak bisa ia jelaskan. Bebas adalah kata yang paling tepat. Karina yang terbiasa terkungkung dengan berbagai macam aturan sangat jarang merasakan perasaan ini.
“Rentangkan kedua tanganmu dan hiruplah udaranya.”
Karina menuruti kata-kata Eki. Karina merentangkan tangannya di atas motor dan menghirup udara di sekitarnya. Udara segar masuk ke dalam paru-parunya disertai dengan kesejukan dan juga kesenangan. Sebuah formula baik untuk menciptakan sebuah perasaan yang bebas.
“Ki, ini asik!”
“HOOOOO!!!” Eki berteriak melepaskan penatnya.
“WAAAAAA!!!” Karina mengikutinya.
***
Rani melambaikan tangannya mengucapkan selamat tinggal pada Aris dan Nive yang berada di dalam mobil Aris (Rambut Aris tampak sangat sehat seperti baru di creambath). Setelah mobil Aris tidak terlihat lagi, Rani berbalik dan berjalan menyusuri pekarangan rumahnya.
“Sore, Non.” Sapa Mas Ikin sambil mencuci mobil.
“Sore.” Balas Rani tanpa menengok kepada Mas Ikin. Ia langsung menuju pintu masuk.
“Masih belum berubah juga.”
Rani tersentak kaget. Terdengar suara selain suara Mas Ikin. Rani melangkah mundur dan melihat ke arah suara tersebut berasal. Sesosok pria berdiri di dekat Mas Ikin yang sedang mencuci mobil. Ia mengenakan mantel coklat dan memakai topi beret rajutan. Rambutnya sebagian terlihat dari sela-sela topi yang menutupi keningnya. Wajahnya nampak sangat tenang seakan ia telah siap dengan segala hal. Matanya tajam tertuju pada Rani.
“Ngapain ke sini?”  Tanya Rani tajam.
Pria itu tersenyum kecil, “Seperti biasa. Aku rindu ayahmu. Tapi sepertinya ia tidak ada, jadi aku ngobrol saja dengan Ikin.” Ia melemparkan pandang sekilas pada Mas Ikin. Mas Ikin menjawabnya dengan anggukan yang disertai senyuman sopan.
“Mas, kalau urusan sama dia sudah selesai, cepat suruh pulang!” Rani kembali menuju pintu masuk.
“Ini, Non. Mas Aulia ngasih tahu Mas Ikin, tadi. Katanya Non Rani disuruh hati-hati. Banyak anak gadis seperti non diculik. Katanya mereka nantinya dijual.”
Langkah Rani terhenti sesaat. Penculikan? Dirinya? Lelucon apalagi ini? Rani membalikkan badannya dan berjalan ke arah Aulia—pria bertopi beret rajut, “Apalagi maumu?”
“Pelaku penculik adalah orang yang mudah dekat dengan orang lain. Mereka bisa mendapatkan hati incarannya dan dengan mudah menjebaknya. Berhati-hatilah.” Aulia berkata tenang. Tidak menggubris tatapan macan betina yang terlihat siap menerkam di hadapannya.
Rani terlihat sangat kesal melihat tingkah dinginnya pria tersebut. Namun ia kehabisan kata-kata. Ia menahan nafasnya kuat-kuat dan kemudian membuangnya, “Terima kasih atas nasehatnya. Tapi aku bukan kakak.” Rani membalikkan badannya dan berjalan cepat memasuki rumah. Ia membanting pintunya sehingga menimbulkan suara gaduh dan menggoyangkan lampu gantung raksasa ruang tengah rumahnya.
Rani menyender ke pintu yang baru saja ia banting. Menenangkan diri dengan menarik nafas dan memejamkan matanya. Mencoba menjernihkan kembali pikirannya.
Kata-kata Aulia terngiang di telinganya. Tiba-tiba ia teringat Karina. Eki yang sedang mendekatinya baginya terlalu mudah untuk mendapatkan perhatian Karina yang sulit untuk didekati. Bagaimana jika Eki tiba-tiba menculik Karina? Bagaimana jika nanti Karina, teman baiknya dijual?
Hati Rani mencelos. Ia cepat-cepat mengeluarkan HP dari dalam tasnya, dan ia menemukan HP nya dalam keadaan mati—batere habis. Rani tahu ia harus segera menghubungi Karina. Karina segera meluncur ke kamarnya yang di atas. Namun dalam sekejap, seseorang berhasil menghentikan langkahnya. Seorang wanita gemuk memakai pakaian matching merah muda dari atas kepala sampai alas kaki.
“Bagaimana kalau kita mulai latihannya sekarang?”
***
Eki menjulurkan tangannya pada wajah Karina. Matanya tertuju hanya pada satu titik di wajah Karina. Ia melihat dengan gaya yang aneh namun mendalam.
“Es krim nempel di pipi kamu.” Kata Eki sambil menunjuk ke arah pipi Karina.
“Eh, iya? Ada tisu nggak?” Kata Karina sambil berusaha melihat pipinya.
“Ada, ini.” Eki mengambil tisu yang sudah disediakan di meja.
“Mana sih, Ki? Nggak kelihatan.” Tangan Karina tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Eki yang hendak membersihkan pipi Karina. Mereka saling bertukar pandang.
Karina melemparkan senyum ke arah Eki dan mengambil tisunya, “Terima kasih.”
“Sama-sama.” Eki pun tersenyum.
Obrolan pun kembali menghangat. Eki mengajak Karina makan di daerah Lembang. Di sebuah tempat makan yang cukup bagus dengan pemandangan yang langsung menghadap ke arah lembah. Dari sana mereka bisa melihat pemandangan pegunungan dan sebagian kota Bandung.
“Orang tuaku dulu sangat senang makan di sini.” Kata Eki.
“Oh iya?
“Iya, mereka selalu mengajakku paling tidak dua minggu sekali kemari. Ibuku selalu menyukai es krim sundae coklat di sini.”
Karina melihat es krimnya. Es krim yang ia pesan adalah sundae coklat.
“Ya. Es krimnya sama.” Kata Eki tertawa kecil, “Lalu ayahku selalu memprotesnya. Katanya…” Eki berdiri. Ia merubah mimic wajahnya dan gaya berdirinya. Ia seperti sedang menjadi orang lain, “Dingin dingin begini makan es krim, ya? Hmmm… baiklah… baiklah.”
Karina meledak tertawa. Mimic wajah Eki sangat menggelikan. Eki pun ikut tertawa.
“Sekarang orang tua Eki gimana?”
“Mereka udah nggak ada.”
Senyum Karina sedikit terhapus, “Maaf.”
“Nggak apa-apa. Itu bukan kenangan pahit.” Kata Eki, “Sudah waktunya mereka istirahat. Tidak ada yang harus disesalkan dari itu semua.”
Karina menatap Eki. Tidak ada tanda-tanda kesedihan di wajahnya. Wajahnya seperti anak kecil yang merelakan mainannya yang hilang. Namun rasa tidak enak masih menempel pada Karina.
“Mereka meninggal karena kecelakaan saat aku berumur 10 tahun.” Kata Eki, “Setelah kepergian mereka, aku tinggal bersama dengan saudaraku.”
“Mereka pergi waktu kamu masih sangat kecil.” Kata Karina, “Kalau aku, mungkin aku nggak bisa. Aku sangat membutuhkan mereka sampai saat ini.”
Eki tersenyum, “Jalan hidup orang berbeda-beda. Dan inilah jalanku.”
“Maaf ya, Ki.”
Eki menggelengkan kepalanya, “Nggak ada yang harus dimaafkan. Justru aku yang harusnya bilang makasih. Kamu udah mau ngedengerin.”
Karina mengangguk. Ia merasa betapa bersyukurnya ia masih memiliki kedua orang tuanya.
“Ayo kita pulang. Udah mau malam.” Ajak Eki. Karina menjawabnya dengan anggukan. Eki mengacungkan lengannya memanggil pelayan dan meminta bil.
“Eh, kenapa?” Karina terkaget melihat Eki langsung membayar bil tersebut.
“Nggak apa-apa. Aku ngerasa nggak sopan aja nyuruh kamu bayar.” Kata Eki sambil membayar kepada pelayan tersebut dan menyuruhnya mengambil kembaliannya.
“Kan udah janji gantian aku yang traktir sekarang.” Kata Karina.
“Kamu udah traktir aku.” Kata Eki sambil berjalan keluar. Karina mengikutinya dengan penasaran. Ia tak merasa sudah mengeluarkan sesuatu untuk mentraktir Eki.
“Traktir apa?”
“Kamu udah traktir waktu kamu untuk aku.” Kata Eki sambil menyiapkan motornya. Ia kemudian melemparkan pandangannya kepada Karina, “Dan itu sangat berharga buat aku.”
“Gombal!” Kata Karina sambil mengambil helm.
Eki tertawa, “Yah, terserah kalau kamu nggak percaya.”
“Nggak.” Kata Karina. Ia baru saja selesai memakai helmnya dan naik ke boncengan motor, “Cowok mah suka bohong.”
“Berbeda dengan yang satu ini.” Kata Eki sambil menyalakan motornya, “Aku tak akan pernah membohongimu.”
Karina mendengar perkataan Eki dengan jelas. Sebelum ia bisa membalas perkataan Eki, Eki sudah memacu motornya
“Mau kuantar pulang dengan gaya apa?”
“Maksudnya?”
“Kamu mau coba merasakan naik motor sport betulan?”
Karina memutar otaknya. Memang selama ini Karina tidak pernah melihat Eki membawa motornya melaju kencang, “Oh iya? Coba kau buktikan.”
“Haha, kau yang minta. Sekarang pegangan.” Kata Eki.
Karina berpegangan pada Eki seadanya. Eki menurunkan gigi motornya sehingga gerungan motornya terasa meningkat. Ia langsung memuntir gas sampai ban depan motor mengangkat. Karina yang awalnya hanya berpegangan seadanya sekarang benar-benar memeluk Eki dari belakang. Ia tidak tahu jika Eki akan membuat standing motornya.
“Rin, jalanan adalah langitku, dan motor adalah sayapku. Dengannya aku bisa terbang kemana pun aku mau!”
Mencapai belokan, Eki sama sekali tidak mengendurkan gasnya. Ia memasuki belokan layaknya seorang pembalap profesional. Di jalan lurus selanjutnya, Eki semakin memacu motornya. Setiap ia ganti gigi, motornya kembali standing. Eki benar-benar memperlihatkan kebuasan tunggangannya kepada Karina. Namun Karina sama sekali tidak merasa takut. Karina merasa seekor monster liar yang sepertinya lama tertidur di dalam dirinya kembali terbangun.
***
“RIN!”
“Auuu... kamu mau bikin aku tuli, Ran?”
“Maaf. Aku khawatir sama kamu, Rin. Aku pikir Eki culik kamu.”
“Culik? Kebanyakan nonton film, kamu.”
“Ummm...” Rani merasa lega. Sesaat, ia juga merasa bodoh mendengarkan perkataan Aulia. Ia membaringkan tubuhnya di kasur. Telpon genggamnya yang terhubung dengan Karina ia pegang erat dengan tangan kanannya.
“Ran, hari ini aku seneng banget.”
“Oh iya? Emang dibeliin apa aja kamu sama dia? Atau dia nunjukin tempat belanja baru?”
“Nggak.”
“Ha? Terus kalian ngapain?”
“Ngebut di jalan. 200 kilometer perjam lho, Ran.”
“HAH?!!!” Rani tersentak kaget. 200 kilometer perjam?! Mas Ikin aja yang nyetir 80 kilometer perjam sudah sering dilempar sepatu oleh Rani. Rani tidak terbayang bagaimanan nasib Mas Ikin jika membawanya 200 kiometer perjam?! “Kamu mau jadi pembalap, Rin?”
“Nggak, Ran. Cuma... aku ngerasa puas aja. Aku belum pernah ngerasain yang kaya gitu.”
“Terus... kamu nggak diapa-apain kan sama dia?”
“Apaan sih kamu ini?! Nggak lah. Dia orang baik, kok.”
“Ummm... sukur, deh.” Kata Rani. Rani mengambil boneka Teddy Bear putih favoritnya dan memeluknya, “Terus, gimana kalau dia nembak?”
Karina terdengar cekikikan.
“Kok ketawa?”
“Nggak, aku nggak kebayang misalnya iya dia nembak aku. Aku nggak tahu gimana nanti akunya.” Kata Karina, “Bagi aku, dia masih misterius. Aku nggak bisa menebak tingkah lakunya. Malahan tingkahku yang yang terus ia baca.”
“Hihihi...” Rani tertawa anak kecil, “Karina punya kecengan baru nih.”
Karina terdiam sesaat. Ia menarik nafasnya dalam-dalam,
“Semoga ia baik. Aku tak ingin kecewa.”
***
Semenjak jemputan Eki pertama, Eki semakin sering menjemput Karina. Pada awalnya Eki datang tiga hari kemudian. Namun minggu ini Eki datang tiap hari menjemput Karina. Hal ini bukanlah pemandangan bagus untuk Aris. Ia menaruh curiga yang bukan-bukan pada Eki. Dimulai dari anak nakal sampai penjahat ia tuduhkan. Namun ia juga menyalahkan dirinya sendiri dengan cara yang aneh.
“Mungkin Karina bosen naik mobil kali, ya? Apa aku harus bawa motor juga?” Kata Aris dengan polosnya setelah berpikir keras. Rani dan Nive saling bertukar pandang dan setuju untuk menahan tawa.
Karina memiliki sebuah kebiasaan baru sepulang sekolah. Karina selalu menghilang dan menunggu Eki di pertigaan pojok taman sekolah. Rani memaklumi keadaan Karina. Ia tahu bagaimana perasaan Karina sekarang. Yang ia bisa lakukan sekarang hanyalah memberi dukungan kepada Karina dan tentu saja meredamkan amarah Aris juga.
Karina telah melakukan hal yang paling gila dalam hidupnya. Ia belajar mengemudikan motor Eki. Awalnya Eki hanya bercanda untuk menawari Karina, namun Kairna menanggapinya dengan serius dan benar-benar mencobanya. Karina sama sekali tidak menduga bahwa ia bisa. Ternyata mengendarainya tidak sesulit yang ia bayangkan. Eki setengah heran dan setengah lagi amat senang melihat Karina bisa mengendarai motornya.
Aris menjadi semakin menyebalkan sekaligus menggelikan. Setiap kali melihat motor Eki, Aris selalu mengeluarkan komentar-komentar aneh. Baginya mungkin itu adalah sebuah lontaran hinaan, tapi bagi orang yang mendengarnya itu lebih mirip komentor bola.
“Oke, Karina mulai naik motor tersebut. Eki merasa senang karena Karina duduk di belakangnya, iyaaaa... dan motor pun digas membawa Karina pergi.” Khususnya komentar ini membuat Rani dan Nive mengeluarkan usaha lebih untuk menahan tawa.
Teman-teman cowok Aris yang jahil pun mulai mengerubungi Aris dan mengipasinya dengan buku pelajaran seakan muncul api dari tubuh Aris.
“Wah, api cemburu. Api cemburu.” Kata Dendra bersama teman-temannya.
“Cepat hentikan sebelum aku masuk angin. DAN AKU NGGAK CEMBURU!!”
***
Hari ini senyum Karina tidak bisa meninggalkan wajah cantiknya. Ia tersenyum lebar melihat dua buah desain jaket berwarna putih dengan hiasan sayap malaikat di bagian punggung jaket. Salah satu punggung jaket bergambarkan sebuah sayap malaikat sebelah kanan dan di jaket yang satunya lagi bergambarkan sayap malaikat sebelah kiri. Jadi bila kedua jaket tersebut disejajarkan akan terbentuk sepasang sayap malaikat.
Ide untuk membuat jaket ini datang dari Eki. Eki mengajak Karina untuk membuat jaket berpasangan. Saat mengetahui hal ini, perasaan Karina seakan melambung jauh ke langit ke tujuh. Eki sendiri menggagas untuk membuat jaket karena ia sering mengajak Karina naik motor.
Tempat membuat jaketnya pun tampaknya adalah kenalan Eki. Orang yang melayani mereka tampak sangat akrab dengan Eki. Inilah salah satu keunggulan Eki yang amat dibanggakan Karina, ia dapat bergaul dengan baik dengan semua orang.
“Oke banget nih, desainnya, Gan. Ane yang biasa bikin jaket aja nggak bisa desain sayap kayak gini.” Kata orang yang melayani mereka.
“Hahaha... bisa aja. Jadinya kapan, nih?” Tanya Eki.
“Hummm... paling empat hari lagi, Gan. Soalnya pesanan yang kemarin baru naik hari ini. jadi pesanan bos baru bisa naik lusa.”
“Empat hari, gimana, Rin?” Tanya Eki.
Karina mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Bos gua bilang oke. Jadi empat hari lagi gua ambil, oke?” Kata Eki.
“Hahahaha... Jadi semua gimana bosnya si bos nih? Oke deh. Percaya aje sama ane, Bisket si jagoan jaket.” Orang itu tertawa.
Karina dan Eki keluar meninggalkan tempat membuat jaket itu setelah Eki melunasi pembayaran jaket, “Di tempat ini nih, Rin, aku sama anak-anak biasa bikin jaket. Jaketnya bagus, murah, terus bisa pesen sedikit juga.”
“Kok jadi kamu yang promosi?”
“Eh, ini info penting. Awas keluar diulangan, lho.” Kata Eki. Karina tertawa, “Tunggu, empat hari lagi aku nggak bisa ngambil, Rin. Paling besoknya baru bisa aku ambil. Aku ada janji sama saudara aku mau nganterin dia ke stasiun.”
Sedikit rasa kecewa Karina muncul di hatinya. Ia sebenarnya sangat ingin cepat-cepat melihat jadinya jaket tersebut. Namun muncul sebuah ide di kepalanya, “Aku aja yang ngambil. Jadi besoknya bisa kita pake langsung barengan waktu kamu jemput aku.”
“Ide bagus, Rin. Nggak apa-apa?” Karina menggelengkan kepalanya memberitahukan ia tidak keberatan, “Oke, aku kasih tahu orangnya dulu sebentar ya biar dia tahu kalau nanti bosnya si bos yang ambil.”
Eki masuk ke tempat pembuatan jaket tadi sekali lagi. Karina tersenyum mendengar kata bosnya si bos.
Karina menyenderkan badannya di tembok sambil menghindari sorotan sinar matahari yang saat itu terik menyinari sekitarnya. Karina berdiri menghadap jalanan Bandung dengan dihiasi lalu lalang kendaraan bermotor yang tidak sedikit. Karina juga mengisi waktunya sambil memerhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar jalan dan beberapa pedagang kaki lima yang menghabiskan sebagian badan trotoar.
Dalam sekelebat pandangan, Karina merasa bertemu pandang dengan orang berambut panjang keriting yang berdiri beberapa meter darinya. Karina cepat-cepat membuang pandangannya dari orang itu. Namun saat ia melihat ke arah orang itu lagi, Karina baru menyadari bahwa barusan mereka bukanlah bertemu pandang secara kebetulan. Orang itu memang memerhatikan Karina. Karina sedikit terbiasa dengan orang yang memandangnya dengan cara demikian. Ia pun kembali membuang pandangannya.
Sedikit penasaran, Karina melihat ke arah laki-laki itu lagi. Ia masih menatap Karina dengan matanya yang tampak kosong. Senyum sinis terurai dari bibirnya. Bahkan kali ini ia tidak hanya menatap—ia berjalan menuju ke arah Karina. Jantung Karina tiba-tiba berdegup seakan baru saja ada yang meninju jantungnya. Apakah ia menuju ke arahku?
Karina membuang pandangannya sebentar dan kemudian melihat ke arah laki-laki tersebut kembali. Laki-laki tersebut semakin dekat dengan Karina dan masih menatap Karina. Tatapannya seperti seekor singa yang sedang mengejar mangsanya.
Karina berusaha tidak memercayai bahwa orang itu berjalan ke arahnya. Tatapan matanya membuatnya takut. Pembuangan pandang selanjutnya telah membawa orang tersebut ke sebelah Karina. Ia sekarang berdiri tepat di sebelah Karina. Karina mencuri pandang ke arah laki-laki tersebut. Rambutnya panjang keriting dan wajahnya tampak sangat mengerikan. Bibirnya nampak lebar sekali. Karina sekarang bisa melihat jaket kulit coklat lusuh yang ia gunakan dan kaos putih yang sama lusuhnya di dalamnya. Dari sekujur tubuhnya tercium bau alkohol memuakkan yang membuat Karina bergeser sedikit.
Tatapan mata orang itu jelas sangat terarah pada Karina. Karina terus bertanya dalam hati ‘Apa maunya orang ini?’ sambil berusaha mengatasi rasa takut di hatinya. Orang itu semakin mendekati Karina dan ia menjulurkan tangannya yang berbonggol-bonggol ke wajah Karina. Karina sangat ingin melarikan diri namun seperti ada yang baru menyemen kedua kakinya—ia tak bisa melangkah ke mana-mana. Ia terlalu takut untuk bergerak.
Tangan orang itu nyaris menyentuh pipi Karina.
PLAK
BUG
Eki baru saja muncul di sebelah Karina, membuang tangan laki-laki yang hampir menyentuh Karina dan langsung meninju wajah laki-laki itu. Laki-laki itu jatuh terjerembab ke belakang. Sambil memegangi bekas pukulan di wajahnya, ia bangun dan kembali menatap Eki dan Karina.
“Rin, cepat pergi.” Kata Eki. Jelas terdengar kegelisahan di suara Eki.
“Dia siapa, Ki?” Tanya Karina. Rasa takutnya sedikit mereda.
“Aku nggak kenal dia. Cepat kita pergi sekarang.” Kata Eki. Ia menarik tangan Karina untuk segera menjauh dari laki-laki tersebut. Laki-laki tersebut tetap terduduk di tempatnya dan menatap mereka berdua dengan senyum sinisnya.
Eki nyaris meenyeret Karina di belakangnya. Karina dengan susah payah mengikuti kecepatan langkah Eki. Baru kali ini ia melihat Eki bertingkah seperti ini—ketakutan adalah kata pertama yang bisa dipakai Karina untuk menggambarkan Eki saat ini.
Eki langsung meloncat ke atas motornya dan memberikan helm pada Karina. Tanpa banyak bicara lagi, setelah Karina naik, Eki langsung menancap gas dan pergi meninggalkan tempat parkir motor tersebut. Keluar dari tempat parkir motor pun Eki tidak mengendurkan gasnya. Ia berkelak-kelok di jalanan macet Bandung. Karina hanya bisa berpegangan kencang di belakangnya sekarang. Sekarang Karina jauh lebih takut pada Eki dibanding laki-laki tadi.
***
Eki memberhentikan motornya di depan rumah Karina. Sepanjang perjalanan, Eki tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Karina ragu-ragu untuk turun. Eki membuka helmnya dan menengok ke belakang. Wajahnya sudah kembali seperti biasa, “Sudah sampai, Karina.”
Karina turun dengan ragu-ragu. Ia mencopot helmnya dan menatap wajah Eki, “Eki... Marah sama aku?”
Wajah Eki berubah keheranan.
“Ki, maafin. Aku nggak kenal orang tadi. Orang tadi tiba-tiba ngedatengin aku dan tiba-tiba mau megang aku.”
Eki tersenyum, “Rin, nggak apa-apa. Aku bukan marah sama kamu. Aku cuma takut kamu dijahatin orang tadi.”
“Bener?” Tanya Karina pelan. Eki menjawab dengan anggukan. Eki mengusap dahi Karina yang tampaknya siap untuk menangis. Jantungnya belum kembali pada ritme yang benar. Tiba-tiba Eki menarik Karina ke dekapannya dan menaruh dahi Karina di dadanya. Perasaan Karina kembali kacau balau.
“Justru aku yang harusnya minta maaf.” Bisik Eki pelan, namun Karina masih bisa mendengarnya dari dekapan Eki. Suaranya terdengar sangat tenang dan hangat, “Maafin aku, ya.”
Karina tanpa sadar meneteskan air matanya. Namun ia cepat-cepat mengusapnya—tak ingin Eki melihatnya. Beberapa saat kemudian Eki membebaskan Karina dari dekapannya, namun ia tidak begitu saja melepaskannya. Sesuatu yang empuk menempel di kening Karina. Eki baru saja mengecup kening Karina.
“Ki...” Kata Karina pelan.
“Aku harus pulang, sekarang. Makasih buat hari ini, ya.” Kata Eki.
Karina dalam hati tahu ia harusnya menahan Eki lebih lama sekarang. Namun tubuhnya tidak mendengarkan kata hatinya. Yang ia keluarkan adalah jawaban anggukan tanda ia melepaskan Eki saat itu juga. Perasaannya menginginkan Eki lebih lama di sana. Kembali mencium keningnya dan menenangkan perasaannya yang masih mengamuk.
“Jangan lupa ambil jaketnya ya, Rin. Nanti aku jemput kamu.” Kata Eki. Karina menjawabnya dengan anggukan kecil.

Eki menyalakan mesin motornya dan memakai helmnya kembali. Dari balik helm full face nya Karina bisa melihat mata Eki tersenyum kepadanya. Eki melambaikan tangannya tanda perpisahan yang dibalas oleh Karina. Motor Eki meluncur pelan meninggalkan Karina di jalanan sepi depan rumahnya. Karina hanya bisa melihat Eki memunggunginya pergi dari hadapannya. Satu hal yang sekarang dirasakan Karina adalah sesuatu yang amat sulit dijelaskan—bahwa ia tahu ini akan menjadi terakhir kalinya.

0 comments:

Post a Comment